
Keterangan Gambar : Ilustrasi Tik Tok. tirto.id/Nadya
Pada pertengahan 2019, penguasa Amerika
Serikat, yang diwakilkan oleh pemerintah di beberapa negara bagian, Kongres,
dan agensi federal, ketakutan terhadap Facebook. Steven Levy, editor-at-large pada Wired, dalam bukunya
berjudul Facebook: The
Inside Story (2020) menyebutkan ketakutan muncul karena
Facebook, media sosial yang didirikan Mark Zuckerberg, menguasai Instagram dan
WhatsApp. Gabungan Facebook-Instagram-WhatsApp, selain beraroma monopoli, juga
memunculkan risiko penyelewengan data pengguna.
Elizabeth Warren, politikus Demokrat yang kala
itu tengah berupaya menjadi capres Demokrat, mengusulkan agar Instagram dan
WhatsApp diambil alih dari Facebook. Facebook harus dihukum seperti Standard
Oil Company, bisnis minyak milik John D. Rockefeller yang dipecah menjadi 34
entitas pada 1911.
Facebook, sebagaimana dikisahkan Levy, menolak
usul itu."Jika pemerintah AS melemahkan kekuatannya," demikian
Facebook, "perusahaan teknologi besar dari Cina akan datang mengambil alih
kekosongan yang ditinggalkan Facebook.”
Setahun berlalu. Alih-alih menggembosi Facebook,
pemerintah AS di bawah Trump malah berencana melarang TikTok, media sosial asal
Cina dengan 45,4 juta pengguna di AS, yang
sukses mengambil hati remaja tanpa perlu menunggu celah yang ditinggalkan
Facebook--seandainya Zuckerberg disingkirkan dari Instagram dan WhatsApp.
TikTok,
Sasaran Baru Trump Setelah Huawei
Serangan elit politik Amerika Serikat terhadap
TikTok mulai dilakukan pada musim gugur (sekitar September-November) 2019 lalu,
hampir berbarengan dengan kesuksesan pemerintah AS menggembosi Huawei dengan
memerintahkan perusahaan-perusahaan Amerika, khususnya Google sebagai pemilik
Android, agar memutus kerjasama dengan Ren Zhengfei, dkk.
Pada September 2019, Washington Post menurunkan
laporan berjudul “TikTok’s Beijing Roots Fuel Censorship Suspicion as It Builds
a Huge U.S. Audience”.Artikel itu yang mengungkap bahwa TikTok pernah
menginstruksikan moderatornya untuk menyensor video yang dianggap sensitif oleh
pemerintah Cina. Tak lama setelah laporan itu dirilis, Senator Marco Rubio,
Chuck Schumer, dan Tom Cotton menghendaki penyelidikan menyeluruh atas TikTok,
khususnya terkait seberapa jauh tangan Xi Jinping bisa menjangkau TikTok, serta
kemungkinan data-data pengguna TikTok di AS ditambang Beijing.
Pada November 2019, Committee on Foreign Investment
in the United States (CFIUS) mengumumkan akan meninjau akuisisi
ByteDance--perusahaan pemilik TikTok--atas Musical.ly, media sosial asal
Shanghai yang lebih dulu sukses di pasar AS dan dibeli TikTok.
Ketakutan TikTok menjadi mata-mata bagi Cina
diperkuat melalui Undang-Undang Intelijen Nasional 2017 dan Undang-Undang
Anti-Spionase 2014. Sebagaimana diwartakan Arjun Kharpal untuk CNBC, melalui aturan itu, setiap entitas Cina, termasuk TikTok, ”harus
mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan badan intelijen negara Cina sesuai
dengan hukum”. Kiersten Todt, Direktur Pelaksana firma keamanan digital Cyber
Readiness Institute, menyatakan kepada Vox: “Jika pemerintah Cina menginginkan data, pemerintah akan
mendapatkannya.”
“Saya telah berada di ruang keamanan nasional AS
selama beberapa dekade dan melihat langsung bukti betapa tingginya minat Cina
untuk meretas AS, entah melalui kekayaan intelektual atau pencurian data,”
tegas Todt.
Akhirnya, pada Juli 2020, Menteri Luar Negeri
Mike Pompeo menyatakan AS tengah mempertimbangkan pemblokiran TikTok dan lebih
dari 50 aplikasi asal Cina lainnya. Namun, sebagaimana dilaporkan Shirin
Ghaffary untuk Recode, Trump melunak. Alasannya, sebagaimana diungkapkan James Lewis,
Direktur Kebijakan Teknologi pada Center for Strategic and International
Studies, rencana pemblokiran TikTok baru sebatas pada “dugaan”, bukan bukti
nyata atau kasus di AS di mana warga negara mengadu bahwa data miliknya
diangkut Cina melalui TikTok.
“Pemerintah AS bisa memberikan sanksi kepada
mereka, tetapi biasanya sanksi itu terkait dengan pelanggaran perdagangan atau
spionase atau proliferasi atau pencurian kekayaan intelektual.Anda tidak bisa
melakukannya hanya karena Anda marah pada perusahaan (Cina),” kata Lewis.
Alih-alih memblokir TikTok di AS, Trump akhirnya
menginginkan bisnis TikTok di AS diakuisisi oleh perusahaan AS.
“Saya tidak keberatan jika perusahaan besar,
perusahaan yang aman, perusahaan yang sangat Amerika membelinya,” kata Trump.
Trump pun memperingatkan jika bisnis mereka tidak segera dijual pada perusahaan
AS hingga tanggal 15 September 2020, TikTok akan “gulung tikar di Amerika
Serikat”. Selain disebabkan ketakutan Beijing menginfiltrasi AS via TikTok,
ancaman tersebut juga dilatarbelakangi fakta bahwa anak-anak TikTok di AS
sukses mempecundangi Trump, melalui prank registrasi
tiket kampanye presiden berambut orange itu di Tulsa, Oklahoma.
Microsoft, seperti yang dipertegas Satya
Nadella, menyatakan siap mengambil alih TikTok cabang AS--meski kemudian
perusahaan buatan Bill Gates ini mengumumkan menunda negosiasi pembelian.
Trump, "anak Twitter" yang kebetulan
sedang menjadi presiden, tentu bisa mencerabut TikTok cabang AS dari entitas
utamanya di Cina, ByteDance.Namun, bukan melalui tangannya langsung, tetapi
melalui CFIUS.Lembaga ini memang punya kuasa menentukan boleh tidaknya
perusahaan asing berbisnis di AS.Dalam catatan sejarah, CFIUS pernah memblokir kesepakatan
pengambilalihan Qualcomm, perusahaan pembuat chip perangkat mobile asal AS, oleh
Broadcomm. Lalu, CFIUS pun sukses menyingkirkan kepemilikan pebisnis Cina dari
Grindr dan PatientsLikeMe.
TikTok membantah segala tuduhan negatif
kepadanya.Kevin Mayer, CEO TikTok, menegaskan bahwa platform yang dikomandoinya
“aman digunakan oleh jutaan pengguna di Amerika”.Menurutnya, setiap lini di
dunia teknologi memang diawasi, tetapi TikTok jauh lebih diperhatikan Paman Sam
karena berasal dari Cina.Mayer bahkan sesumbar bahwa semua platform digital
(tidak hanya TikTok) “harus membuka algoritmanya”, jika tujuannya adalah
menghapus kecurigaan.
Donny Eryastha, Head of Public Policy TikTok
Indonesia, Malaysia, Filipina, melalui rilis media yang diberikan pada Tirto, menyebut bahwa
TikTok “mengembangkan infrastruktur keamanan yang terbaik dan menjunjung
Panduan Komunitas serta mematuhi aturan dan hukum privasi setempat yang
berlaku.”
Sebagai catatan, bukan hanya AS yang bernafsu
memblokir TikTok. Di India, TikTok dan 59 aplikasi
asal Cina telah diblokir. Pemblokiran Cina di India didasari anggapan bahwa
aplikasi ini bagian dari “serangan digital” dan "agen propaganda
pemerintah Cina”. Sekelompok pengacara di Jepang juga menuntut Tokyo
segera mengambil langkah serupa AS dan India dengan alasan yang sama.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah memblokir
TikTok.Pada 2018, tatkala Bowo Alpenliebe jadi bintang TikTok di Indonesia,
aplikasi ini diblokir dengan alasan “banyak konten yang negatif, terutama bagi
anak-anak”.Alasan itu dikemukakan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat
Kemenkominfo Noor Iza.
Namun, ketegangan antara Trump dan TikTok kali
ini lebih diyakini karena semakin memanasnya hubungan Washington dengan
Beijing, alih-alih soal spionase.Benarkah?
Trump menghardik TikTok sejak memanasnya Washington-Beijing.
Masalahnya, jika TikTok dianggap sebagai alat spionase Cina (baca: menghisap
data pengguna di AS), media sosial yang lainnya pun begitu. Salah satu contoh
terbaiknya adalah Facebook.
Pada 2007, untuk meningkatkan minat penggunaan
Facebook, Leah Pearlman, salah satu karyawan terawal Facebook, menginisiasi
penciptaan “Props”, kode proyek yang pada akhirnya melahirkan fitur bernama
“Like”. Bagi Pearlman, sebagaimana diungkap Steven Levy dalam Facebook: The Inside Story, Like
diciptakan untuk membuat para pengguna Facebook berinteraksi dan menumbuhkan
antusiasme terhadap suatu unggahan.
Awalnya, Mark Zuckerberg skeptis dengan Like
dengan alasan fitur baru ini dapat membuat para pengguna Facebook enggan
berkomentar di unggahan-unggahan teman-teman Facebook mereka. Jared
Morgenstern, karyawan Facebook lainnya, lalu berinisiatif merilis fitur
tersebut secara terbatas ke negara-negara Skandinavia, tanpa sepengetahuan
Zuckerberg. Tak disangka, Like laku dan komentar tidak menurun. Singkat cerita,
Zuckerberg merilis Like untuk semua pengguna Facebook, bahkan untuk
aplikasi/situsweb mana pun.
Like memang terdengar sederhana. Fitur untuk
mengapresiasi unggahan teman.Namun, melalui Like, Facebook dapat melakukan
identifikasi para penggunanya. Rob Shavell, ahli privasi yang diwawancarai
Levy, menegaskan bahwa Like “bertindak bagai CCTV,” merekam segala tindakan
pengguna Facebook, entah di dalam platform Facebook sendiri maupun di luar.
Dari Like ini, Facebook sukses melahirkan PPI alias Personally Identifiable
Information alias set data tentang akun seseorang yang,
menurut Sheryl Sandberg (bos bayangan Facebook), lebih hebat dibandingkan cookies.
TikTok, dalam aplikasinya, memiliki fitur Like
(dengan simbol hati, bukan jempol seperti milik Facebook), komentar, dan tentu
saja, setiap penggunanya--yang aktif--mengunggah video pendek, yang
memperlihatkan wajah hingga tempat merekam. Inilah informasi yang dianggap
mengerikan jika jatuh ke tangan Beijing, entah melalui Undang-Undang Intelijen
Nasional 2017 dan Undang-Undang Anti Spionase 2014 atau via paksaan--peretasan
TikTok, misalnya.
Tentu, menghancurkan TikTok dengan alasan yang
sesungguhnya masih samar adalah buruk bagi AS. Namun, di balik keburukan itu
ada pihak yang diuntungkan.Facebook dan Microsoft.
Dalam sejarahnya, Facebook memang selalu
ketakutan dengan pendatang baru, khususnya di dunia media sosial.Ketika
Instagram datang, mereka mengakuisisinya dengan nilai 1 miliar dolar
AS.WhatsApp juga dibeli dengan uang yang lebih, yaitu 19 miliar dolar AS (karena
pembelian WhatsApp disertai saham Facebook, pembelian ini sempat mencapai angka
$22 miliar).Tatkala Facebook gagal membeli SnapChat, mereka menduplikasi
fitur-fiturnya, Stories misalnya. Ketika Youtube jadi musuh utama, Facebook
merilis Watch.
Tatkala TikTok muncul, Facebook lantas
mengeluarkan Lasso, TikTok buatan Zuckerberg. Sial, Lasso gagal dan akhirnya
Facebook merilis Reels, fitur seperti TikTok yang disematkan pada Instagram.
Dengan digembosinya TikTok oleh Trump, Facebook
seakan punya napas baru.
Di sisi lain, Microsoft adalah perusahaan yang
kini dianggap “tua dan uzur.” Portofolio mereka berkutat pada aplikasi-aplikasi
perkantoran yang serba serius.Di ranah media sosial, Microsoft hanya memiliki
LinkedIn--lagi-lagi, platform yang terlalu serius.LinkedIn lebih tepat disebut
sebagai “CV online” alih-alih media sosial.Jika benar-benar TikTok cabang AS
diambil-alih Microsoft, perusahaan ini punya amunisi baru untuk menjangkau anak
muda.
Dengan kesukaran yang dihadapi TikTok di Amerika
kini, Zhang Yiming, pendiri ByteDance sekaligus pemilik TikTok, tampaknya harus
sungguh-sungguh mencerna petuah Chibo Tang. Tang, investor pada kapital ventura
bernama Gobi Partners, sebagaimana dikatakannya pada The New York Times,
menyatakan tak masalah jika perusahaan Cina masuk ke pasar AS. Namun, ada
“konsekuensi dan biaya tambahan” buat ekspansi ini.Konsekuensi dan biaya
tambahan yang itu kemungkinan muncul sebagai balasan Amerika terhadap The Great
Firewall of China, tembok raksasa yang membuat perusahaan-perusahaan teknologi
AS selalu gagal masuk ke pasar Cina.