
Keterangan Gambar : Ilustrasi ibu dan anak memakai masker. FOTO/iStockphoto
Pandemi virus Corona yang pada Desember lalu
mewabah di Cina kini telah menghantam lebih dari 200 negara. Lebih dari 15 juta
orang di seluruh dunia terinfeksi dan lebih dari 600 ribu orang telah
meninggal. Di Indonesia sendiri, tidak ada tanda-tanda penurunan kurva. Jumlah
orang yang terinfeksi virus Corona semakin bertambah setiap harinya.
Sejak merebaknya virus Corona di Indonesia,
pemerintah Indonesia menetapkan aturan bekerja dari rumah atau yang lebih
dikenal dengan sebutan work from home (WFH). Segala kegiatan
di luar rumah pun menjadi dibatasi dengan adanya aturan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB). Berbagai aturan itu ternyata memiliki dampak yang
signifikan bagi semua kalangan, termasuk pada anak dan orang tua, khususnya
ibu.
Dilansir dari laporan Tirto pada 23 Juli lalu berjudul
“Survei KPAI: Kekerasan Anak Akibat Beratnya Beban Ibu Saat COVID-19”, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa dari survei yang dilakukan
secara daring mulai 8-14 Juni 2020 yang melibatkan 25.146 anak di 34 provinsi
Indonesia, anak-anak mengaku kerap mengalami kekerasan fisik dari kedua orang
tuanya. Seperti dicubit (39,8%), dijewer (19,5%), dipukul (10,6%), dan ditarik
(7,7%). Anak mengaku pelaku kekerasan fisik dilakukan oleh ibu (60,4%), kakak
atau adik (36,5%), dan ayah (27,4%).
Selain kekerasan fisik, anak juga mengaku
mendapat kekerasan psikis. Seperti dimarahi (56%), dibandingkan dengan anak
yang lain (34%), dibentak (23%), dan dipelototi (13%). Dalam hal ini, lagi-lagi
ibu menjadi pelaku kekerasan terbanyak (79%), disusul ayah (42%), dan kakak
atau adik (20,4%).
Tingginya tingkat kekerasan oleh ibu kepada anak
bukan tanpa sebab. Merujuk pada survei nasional yang dilakukan oleh Komnas Perempuan (PDF)
pada 2.285 responden, sebanyak 96% perempuan mengaku bahwa pekerjaan rumah
tangga yang harus mereka lakukan semakin bertambah. Peran gender yang
disematkan kepada perempuan (anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan
tanggung jawab perempuan) membuat mereka harus menanggung pekerjaan di ranah
domestik dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki dengan durasi lebih
dari tiga jam per hari.
Para ibu harus mendampingi sekaligus menjadi
guru untuk anak selama belajar dari rumah, di mana biasanya hal itu dilakukan
oleh pihak sekolah. Bagi ibu yang bekerja pada sektor formal, maka tantangannya
akan menjadi lebih berat lagi. Ia harus bisa menjadi pekerja, guru, sekaligus
ibu pada waktu yang bersamaan. Ditambah para ibu juga harus melakukan pekerjaan
lain di rumah seperti mencuci baju hingga membersihkan rumah. Pekerjaan itu
akan menjadi semakin berat ketika semua anggota keluarga ada di rumah.
Survei yang dirilis pada awal Juni lalu itu
juga menyebutkan bahwa selama masa pandemi, perempuan menjadi kelompok yang
rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebanyak 80% perempuan
dengan penghasilan di bawah Rp5 juta mengaku mengalami kekerasan selama
pandemi. Komnas Perempuan melaporkan “Kekerasan fisik dan seksual terutama
meningkat pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah. Hal ini mengindikasikan
pengaruh tekanan ekonomi pada potensi kekerasan di dalam rumah tangga.”
Semua pekerjaan yang dibebankan kepada
perempuan, hingga kekerasan yang dialami oleh perempuan itu lah yang memicu
naiknya tingkat stress dan bahkan mengganggu kesehatan mental perempuan, yang
juga berperan sebagai ibu. Hal itu kemudian berefek domino berupa kekerasan
terhadap anak. Hal serupa disebutkan oleh KPAI bahwa
beratnya beban domestik, psikologis, dan tanggung jawab pengasuhan yang
bertumpu pada seorang ibu menjadi faktor kekerasan terhadap anak di masa
pandemi Covid-19 ini. Sementara, beban ayah dalam mengasuh anak sangat minim.
Survei yang dilakukan oleh Motherly, sebuah media gaya hidup
ibu dan anak, 74% ibu di AS mengatakan mereka merasa mentalnya lebih buruk
sejak adanya pandemi Corona. 30% dari ibu yang bekerja penuh waktu mengatakan
penyebab utama stres yang mereka alami adalah karena kewajiban untuk merawat
anak, kemudian diikuti oleh kekhawatiran seputar kesehatan mental dan
kesejahteraan anggota keluarga.
Pandemi Corona tidak hanya berimbas pada
kekerasan yang harus diterima oleh perempuan saja. Lebih jauh lagi, Caitlyn
Collins, seorang sosiolog Universitas Washington dalam penelitiannya
berjudul “Covid-19 and The Gender Gap in Work Hours” menyebutkan pandemi memperlebar kesenjangan jam kerja sebanyak 50%.
Collins menyebutkan para ibu harus mengurangi jam kerjanya sebanyak empat
hingga lima kali lebih banyak dibandingkan dengan ayah. Sebaliknya, jam kerja
ayah cenderung lebih stabil meskipun sedang dalam masa pandemi. Para ibu harus
mengurangi jam kerjanya sebanyak 5% atau setara dengan dua jam per minggu. Hal
itu karena ibu harus mengurus semua pekerjaan domestik, termasuk mengurus anak.
Tidak heran jika berkurangnya jam kerja banyak terjadi pada ibu yang memiliki
anak usia sekolah atau balita yang membutuhkan bimbingan yang intens dari ibu.
Berkurangnya jam kerja perempuan yang sekaligus
juga berperan sebagai ibu tak ayal akan berdampak pada kariernya. Kesenjangan
yang terjadi bisa menyebabkan berkurangnya jumlah pekerja perempuan, selain itu
juga mempersulit para perempuan untuk menaikkan jenjang karir. Terlebih lagi,
di masa pandemi banyak perusahaan yang mengalami kemunduran atau resesi dan
harus memilih pekerja mana yang harus dipertahankan. Tidak jarang pula para
perempuan yang merangkap sebagai ibu harus rela untuk keluar dari pekerjaannya
karena merasa tidak sanggup dan tidak menemukan solusi agar semuanya berjalan
seimbang.
Konsekuensi lain yang harus dihadapi perempuan
adalah promosi dan kenaikan gaji berbasis prestasi di masa mendatang dapat
secara tidak proporsional menguntungkan laki-laki yang komitmen kerjanya tetap
tinggi selama pandemi. Collins menyebut dalam wawancara yang dilakukan
dengan The Lily bahwa
“Ekonomi AS mengikuti sistem model pekerja ideal: ada harapan bahwa pekerja
harus loyal dan berdedikasi. Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa Anda
berdedikasi adalah dengan meluangkan waktu baik siang maupun malam hari. Ketika
perempuan melakukan pengurangan kerjapada jam-jam tersebut, maka hal itu
menandakan kurangnya komitmen pada perusahaan.…”
Tak hanya itu, pandemi Corona juga berdampak
pada para ibu tunggal, bahkan dengan galombang masalah yang lebih besar lagi.
Para perempuan sekaligus ibu yang bekerja memiliki pilihan untuk berhenti
bekerja karena ada peran ayah atau suami yang menggantikan. Namun, ini tidak
berlaku untuk ibu tunggal. Ia tetap harus bekerja karena mengingat statusnya
sebagai tulang punggung keluarga.
Di New York City, kota Amerika yang paling parah
dilanda pandemi, terdapat lebih dari 425.000 anak tinggal bersama orang tua
tunggal, sebagian besar dari mereka adalah ibu tunggal. Kejatuhan ekonomi
karena pandemi Corona melukai semua orang tua, tetapi ada alasan kuat untuk
meyakini bahwa beban itu jatuh secara tidak proporsional pada ibu tunggal. Data
Biro Sensus pada 2018 menunjukkan bahwa di antara ibu tunggal berkulit hitam
dan Latin di kota itu, angka kemiskinan anak-anak masing-masing adalah 46% dan
56%, seperti dilansir The New Yorker.
Dari berbagai kasus tersebut dapat dipahami
ketimpangan peran gender menjadi semakin jelas terlihat sejak pandemi Corona,
tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Menurut Caitlyn Collins,
ketidakadilan yang terjadi saat ini dapat memiliki efek jangka panjang yang
bisa menghancurkan karier perempuan. Collins menyatakan, fleksibilitas
merupakan kunci. Fleksibilitas tersebut dapat dilakukan dengan cara perusahaan
meringankan tuntutan pekerjaan dan memberikan fleksibilitas jika memungkinkan
dalam beberapa bulan mendatang, sehingga tidak akan mengakibatkan kerugian
jangka panjang bagi pekerja perempuan. Kemudian ayah harus didorong untuk
memberikan waktu lebih kepada anak-anaknya, bahkan jika harus mengorbankan jam
kerjanya.
Terkait kekerasan terhadap perempuan selama masa
pandemi Corona di Indonesia, Komnas Perempuan menyarankan pemerintah menyusun
kebijakan dengan lebih mempertimbangkan aspek sosial, budaya dan ekonomi,
teknologi dan informasi, kesehatan mental, dan mengintegrasikan pencegahan
kekerasan terhadap perempuan. Selain itu pemerintah juga dinilai perlu untuk
mengembangkan skema bantuan ekonomi khusus bagi perempuan, dengan langkah
afirmasi pada perempuan kepala keluarga, para pekerja di sektor informal, rumah
tangga dengan jumlah anak yang lebih dari 3-5 orang anak, dan kelompok
berpenghasilan rendah. Komnas Perempuan juga menyatakan bahwa diperlukan upaya
untuk menyebarluaskan informasi mengenai layanan yang tersedia dan hak-hak
perempuan korban kekerasan, dengan memperhatikan kebutuhan kelompok rentan
disabilitas.