
Keterangan Gambar : CEO Facebook Mark Zuckerberg berbicara di Universitas Georgetown, Kamis, 17 Oktober 2019, di Washington. AP / Nick Wass
Rabu terakhir di bulan Juli 2020, dalam acara
dengar pendapat antara Kongres Amerika Serikat dengan Apple, Google, Amazon,
dan Facebook terkait dugaan praktek monopoli, Mark Zuckerberg dicecar
pertanyaan oleh Pramila Jayapal, anggota Kongres AS mewakili distrik ke-7
negara bagian Washington.
“Zuckerberg,” sapa Jayapal, “apakah benar bahwa
di bulan Maret 2012 silam Anda, melalui email, menyarankan ke tim manajemen
bahwa bergerak lebih cepat dan menjiplak (fitur) aplikasi lain dapat, saya
kutip, ‘mencegah pesaing menjadi pondasi baru (dunia teknologi)’?” belum juga
Zuckerberg merespon, Jayapal menambahkan bahwa “manajer produk Facebook
(merespon email yang Anda kirimkan) mengatakan, saya kutip, ‘saya jauh lebih
senang untuk bertindak lebih agresif dan lebih gesit dalam urusan meniru
(fitur) kompetitor.’”
Dengan nada agak gugup, Zuckerberg menjawab:
“Saya melihat pekerjaan kami adalah untuk memahami nilai apa yang dicari
orang-orang tatkala mereka menggunakan layanan (milik kompetitor).”
Tidak senang dengan jawaban itu, Jayapal kembali
mencecar. “Setelah email itu, berapa banyak fitur-fitur milik kompetitor yang
dicontek Facebook? Kurang dari lima, atau mungkin 50?” Lantas, ia menambahkan,
“(Benarkah) di saat Facebook menjiplak produk mereka, Anda juga berusaha
membeli perusahaan kompetitor?”
Tidak ada jawaban tegas keluar dari mulut Zuckerberg.
Ia tak bisa menjabarkan apakah ia betul-betul melakukan praktik culas,
mengintimidasi pesaing dalam membesarkan perusahaannya, Facebook. Gilad
Edelman, dalam laporannya untuk Wired, menuturkan selama Zuckerberg memimpin, Facebook telah mengakuisisi
lebih dari 80 perusahaan, termasuk Instagram dan WhatsApp. Jayapal menyatakan
Facebook berhasil mengakuisisi Instagram selepas Zuckerberg, dalam korespondensi
dengan pendiri Instagram Kevin Systrom, mengirim “ancaman” bahwa ia sedang
bekerja menciptakan “Facebook Camera”, sebuah layanan mirip Instagram.
Zuckerberg juga disebut-sebut mengklaim didukung programer handal AS dalam
menciptakan aplikasi anyar tersebut.
Dalam kasus penjiplakan, tidak ada yang lebih
menarik dibandingkan Stories, fitur ciptaan Snapchat yang sukses besar di
tangah Facebook.

Evan
Spiegel: Melahirkan Snapchat, Menolak Tawaran Zuckerberg
“Evan Spiegel hidup dalam kemewahan,” tulis
Steven Levy, editor-at-large pada
majalah Wired,
dalam bukunya yang berjudul Facebook:
The Inside Story (2020). Ayah
Spiegel adalah pengacara sukses di Los Angeles. Dengan kemewahan ini, Spiegel
dikirim ke Crossroads School, salah satu sekolah menengah eksklusif di AS.
Ketika masa kuliah telah tiba, Spiegel melanjutkan pendidikannya ke Stanford
University, kampus di mana Larry Page dan Sergey Brin melahirkan Google.
Tatkala Spiegel berstatus mahasiswa, Facebook
telah menjadi media sosial populer di kampusnya. Namun, sebagaimana dikisahkan
Levy, Spiegel paham mengapa Facebook populer, tapi ia juga mengerti “mengapa
kemudian banyak orang yang membenci” media sosial bikinan Zuckerberg itu.
Cinta dan benci ini rupanya berkaitan erat
dengan kelahiran Growth Circle di tubuh Facebook. Growth Circle--yang kemudian
berubah nama menjadi Growth Team--merupakan tim khusus di Facebook yang
bertugas mendongkrak jumlah pengguna dan menganalisis ancaman yang mungkin akan
dihadapi Facebook. Dalam tugasnya ini, tim yang dikepalai Chamath Palihapitiya,
imigran asal Sri Lanka yang kini menjadi pemilik tim basket Golden State
Warriors, Growth menggunakan segala cara demi meningkatkan jumlah pengguna.
Salah satu strategi kontroversial yang
dilahirkan Growth demi mendongkrak jumlah pengguna ialah sebuah fitur bernama
Beacon. Beacon adalah semacam Application
Programming Interface (API), yang dibagikan Facebook ke pihak
ketiga. Ketika Beacon dipasang pada suatu website, website dapat memanfaatkan
data pengguna Facebook. Sebagai gantinya, Facebook memperoleh data pengguna
website yang menggunakan Beacon.
Via Beacon, Facebook sukses menciptakan dark profile, cikal
bakal Personally
identifiable Information (PPI). PPI adalah set data tentang
pribadi seseorang yang, menurut Sheryl Sandberg, Direktur Pelaksana Facebook,
lebih hebat dibandingkan Cookies. Melalui dark profile, siapapun pengguna internet yang
belum memiliki akun Facebook, tetapi telah mengunjungi mitra Facebook yang
memasang Beacon, akan dibuatkan 'akun bayangan' oleh Facebook. Bagi yang telah
memiliki akun, Beacon mengambil data kegiatan orang itu di situs yang
dikunjunginya, bahkan membagi kegiatan itu langsung ke News Feed mereka.
Spiegel membenci praktik ini.
Masih merujuk Levy, pada April 2010 di asrama
Stanford, Spiegel mengungkapkan ide penciptaan media sosial baru kepada
temannya, Reggie Brown. Tak lama kemudian, ia mengajak teman lainnya, Bobby
Murphy. Ketiganya kemudian sukses melahirkan aplikasi bernama Picabo, media
sosial yang ketika penggunanya membagi konten pada teman-temannya, konten akan
menghilang/terhapus dalam tempo 24 jam.
Pada awal 2012 Picabo resmi berganti nama
menjadi Snapchat.
Awalnya, Palihapitiya mengira bahwa Snapchat
hanya akan menjadi aplikasi sepele yang gagal dari segi bisnis. Namun, lambat
laun, Snapchat menggondol kesuksesan. Zuckerberg khawatir dengan kesuksesan
Snapchat ini, yang menurutnya dapat menghabisi Facebook. Maka, pada 28 November
2012 Zuckerberg mengirim email pada Spiegel. Zuck mengklaim bahwa ia “penggemar
berat apa yang dilakukan Spiegel untuk Snapchat,” dan meminta Spiegel
meluangkan waktu untuk bertemu dengannya (baca: Zuckerberg ingin Snapchat
dijual kepada Facebook).
Spiegel memang membalas email yang dikirim
Zuckerberg itu, tetapi ia menghiraukan ajakan bertemu. Spiegel ingin melakukan
apa yang dilakukan Zuckerberg ketika Yahoo berniat membeli Facebook.
Menghiraukannya dan membangun perusahaannya sendiri secara independen.
Sakit hati dengan sikap tidak acuh Spiegel, pada
21 Desember di tahun yang sama, Zuckerberg kembali mengirim email yang
berbunyi, “Aku harap kamu menikmati Poke.” Poke yang dimaksud Zuckerberg ialah
aplikasi sejenis Snapchat, konten kiriman pengguna menghilang dalam 24 jam
semanjak dibagikan. Poke kali ini berbeda dengan dengan fitur bernama serupa di
zaman Facebook masih bernama thefacebook.com.
Tentu saja, Poke gagal dan Snapchat terus
melesat. Waktu pun berlalu.
Pada 2013, melalui tangan Growth, Facebook
mengakuisisi perusahaan asal Israel bernama Onavo. Onavo bukan media sosial,
tetapi aplikasi “utilities” yang menjanjikan performa maksimal dalam
menggunakan ponsel, misalnya mengecilkan penggunaan data internet hingga
memaksimalkan penggunaan baterai. Selain itu, Onavo pun memberikan layanan VPN
alias Virtual Private
Network bagi penggunannya.
Terkesan mulia, bukan? Sayangnya, yang tidak
disadari pengguna, Onavo sebetulnya adalah aplikasi mata-mata. Ia bekerja
memantau aktivitas penggunanya dan kemudian, karena Onavo menjadi milik
Facebook, data Onavo sjatuh ke tangan Zuckerberg. Yang lebih mengerikan,
seperti yang diutarakan Levy, Onavo dapat menyusup ke dalam berbagai aplikasi
yang dipakai penggunanya.
Dari sumber internal yang berbicara pada Levy,
Facebook sukses “menyuntikan kode pemrograman khusus pada Snapchat” melalui
Onavo. Kode ini berguna untuk merekam segala tindak-tanduk pengguna Snapchat di
aplikasi itu.
Facebook kemudian paham, ada satu fitur dalam
tubuh Snapchat yang sangat digilai penggunanya: Stories.

Stories:
Dijiplak Facebook, Menyebar di Dunia Maya
Dalam buku Facebook: The Inside Story, Levy mengisahkan
pada 2013 Evan Spiegel merasa ada sesuatu yang “kurang” dalam aplikasinya,
Snapchat. Pikir Spiegel, Snapchat seharusnya memiliki fitur yang berguna untuk
mengirimkan konten, entah foto atau video, ke sekumpulan teman-temannya, yang
telah di-set terlebih dahulu. Pada awal kemunculannya, Snapchat hanya
memungkinkan pengguna mengirim konten ke satu temannya.
Spiegel merasa harus merealisasikan sesuatu
kekurangan di aplikasinya dengan cara yang “elegan”: fitur yang berkebalikan dengan
News Feed milik Facebook. Setelah mengumpulkan para programer Snapchat di Blu
House--markas Snapchat--dan menghabiskan waktu selama 24 jam, Spiegel akhirnya
menciptakan Stories. Fitur ini memungkinkan pengguna mengirimkan konten berupa
foto dan video singkat secara piktografik--di-swipe atau ditunggu beberapa detik untuk
berlanjut ke konten lainnya secara berurutan--lengkap dengan tambahan stiker
dan grafik yang “aneh nan bodoh”.
Menurut Spiegel, Stories adalah fitur yang
“aneh”. Tegasnya, “bahkan tidak ada orang-orang di Snapchat yang tahu fitur ini
untuk apa.” Karena keanehan itu, di awal kemunculan Stories untuk para pengguna
Snapchat, fitur ini gagal. Namun, bagi Spiegel, kegagalan Stories hanya soal
waktu. “Butuh waktu bagi orang-orang memahami ide baru,” tegasnya.
Tidak disangka, dalam hitungan bulan Stories
justru laku digunakan. Stories jadi fitur populer Snapchat, mengalahkan fitur
dasar aplikasi ini.
Mark Zuckerberg, berbekal data yang disodorkan
Onavo, sadar akan kehadiran Stories. Zuckerberg kian bernafsu membeli Snapchat.
Nahas, tawaran kedua Zuck yang konon bernilai 3 miliar dolar AS ditolak oleh
Spiegel. Zuckerberg pun berniat menduplikasi Stories, Masalahnya, Zuckerberg
telah bertindak bodoh dengan melahirkan Poke. Akhirnya, ia kemudian
mendelegasikan penciptaan fitur serupa Stories pada Kevin Systrom, pendiri
Instagram.
Berbekal perintah sang bos, Systrom
mentah-mentah meniru fitur baru Snapchat itu dan langsung memasangnya di
Instagram. Tak sekedar fitur atau cara kerjanya, Systrom juga menggunakan
“Stories” sebagai namanya. “Tidak ada alasan menyebut fitur ini dengan nama
berbeda,” ujar Styrom.
Alih-alih malu atas tindakannya, Systrom
berpendapat bahwa Stories adalah fitur pelengkap Instagram. News Feed Instagram
adalah “tempat suci” yang memajang foto-foto indah pengguna. Di sisi lain,
dengan hanya berdurasi 24 jam, Stories dijadikan “tempat sampah”, tempat
kumpulan foto/video “bodoh” untuk dibagikan kepada teman-teman pengguna.
Sebagaimana nasib Stories pada Snapchat, Stories
pada Instagram juga sukses. Lambat laun, Facebook merilis fitur ini juga pada
aplikasi lainnya, Facebook sendiri dan WhatsApp--dengan nama “Status.”
Spiegel tak berkomentar soal idenya yang
dicolong Zuckerberg, dkk. Yang justru marah adalah Miranda Kerr, pacar yang
kemudian menjadi istri Spiegel. “Jika kamu mentah-mentah menjiplak karya orang
lain, itu namanya bukan inovasi. Kok bisa Zuckerberg tidur nyenyak sambil
memikirkan keculasan itu?” ujarnya.
Stories akhirnya jadi fitur andalan Facebook.
Sebagaimana dilansir Statista, pada Januari 2019 saja,
ada 500 juta pengguna aktif Instagram yang berbagi konten via Stories. Di
kuartal 1-2019, jumlah yang sama
dihasilkan fitur Stories (dengan nama Status) dalam tubuh aplikasi WhatsApp.
Adam Levy, dalam laporannya untuk The
Motley Fool, bahkan menyebut Stories yang terpasang pada
Instagram sukses menyumbang 10 persen total pendapatan Facebook.
Uniknya, Stories akhirnya bukan hanya dijiplak
Facebook, tetapi banyak perusahaan. Netflix, misalnya, menghadirkan fitur
Stories dengan nama “Previews.” Di Indonesia, fitur serupa Stories muncul pada
aplikasi Liputan 6 dan tentu saja, Tirto.id--yang
tersemat dalam ikon Tirto,
berada di pojok kiri atas.
Stories kini bernasib seperti PDF alias Portable Document Format yang
diciptakan Adobe yang kini berakhir menjadi public domain.