
Keterangan Gambar : Ilustrasi mozaik Alfonso D
Pada pertengahan tahun 1511, sebanyak 17 hingga
18 kapal besar berbendera Portugis beramai-ramai menyusuri Laut Jawa dari Gowa
menuju Semenanjung Malaya. Tidak kurang 1.200 orang turut serta dalam rombongan
armada perang di bawah komando Alfonso de Albuquerque. Dalam beberapa pekan,
tibalah orang-orang asing itu di Selat Malaka, dan pertempuran akan segera
terjadi.
Tanggal 10 Agustus 1511, tepat hari ini 509
tahun silam, Portugis memulai serangannya ke Malaka. Di sisi lain, seperti
ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah
Indonesia Modern (2008:43), Kesultanan Malaka justru sedang
bergolak akibat perseteruan antara sang sultan, Mahmud Syah, dengan anaknya
yang bernama Ahmad Syah.
Perangkat militer Malaka sejatinya tidak bisa
dipandang enteng, mereka telah dilengkapi dengan persenjataan canggih, termasuk
beberapa unit meriam. Tapi, rupanya Portugis memang lebih unggul, juga
diuntungkan dengan polemik internal yang sedang melanda kubu lawan. Maka, pada
24 Agustus 1511, Portugis meraih kemenangan. Kesultanan Malaka yang sudah
berdiri lebih dari 100 tahun menyerah dan akhirnya musnah.
Serangan
Majapahit Melahirkan Malaka
Berdirinya pemerintahan di Malaka tidak
terlepas dari ekspansi Kerajaan Majapahit ke Tumasik pada 1398. Parameswara,
penguasa kecil di wilayah yang kini bernama Singapura, terpaksa melarikan diri.
Bersama para pengikutnya yang masih tersisa, Parameswara menyusuri pesisir
Selat Malaka untuk menjauh dari orang-orang Majapahit.
Setelah menempuh jarak sekitar 250 kilometer,
sampailah Parameswara ke suatu tempat di salah satu titik di tepian Selat
Malaka. Di lokasi itulah didirikan kerajaan baru dengan nama Malaka (Melaka).
Menurut Louise Levathes dalam When
China Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne (2014),
ia menjadi raja di sana dan bertakhta sejak 1405. Parameswara masih memiliki
darah turunan dari Kerajaan Sriwijaya.
Parameswara semula adalah seorang penganut Hindu.
Ia kemudian memeluk Islam seiring ramainya pelabuhan Malaka yang merupakan area
transaksi kaum pedagang dari Arab dan Gujarat, juga dari wilayah mancanegara
lain termasuk Cina. Setelah menjadi muslim, Parameswara lantas menyandang gelar
Iskandar Syah sebagai penguasa Malaka.
Kendati telah memeluk Islam, namun Parameswara
alias Iskandar Syah tidak menerapkan syariat Islam secara penuh dalam
menjalankan pemerintahan di Malaka. A.J. Halimi dalam Sejarah dan Tamadun Bangsa
Melayu (2008) menyebut bahwa hanya 40,9 persen undang-undang
pemerintahan di Malaka yang sesuai dengan aturan Islam. Begitu pula untuk
undang-undang laut. Dari 25 pasal, hanya 1 pasal saja yang mengikuti hukum
Islam.
Kerajaan
Islam Sahabat Cina
Ramainya pelabuhan atau bandar dagang di Malaka
membuat tempat ini menjadi titik penting interaksi antarbangsa. Salah satu
bangsa besar di dunia yang banyak berniaga di Malaka adalah orang-orang Cina.
Dari situlah Malaka menjalin hubungan dan memiliki relasi yang cukup intim
dengan Kekaisaran Cina di Tiongkok.
Tak lama setelah mendirikan pemerintahan di
Malaka pada 1405, Parameswara atau Iskandar Syah mengirimkan utusan ke Tiongkok
untuk memohon pengakuan dari pemimpin Dinasti Ming saat itu, Kaisar Zhu Di
(1402-1424). Sang kaisar pun memberikan pengakuan resmi dan dibalas dengan
pengiriman upeti secara rutin oleh Malaka.
Bahkan pada tahun yang sama Iskandar Syah
berlayar ke Cina untuk mengunjungi Kaisar Ming secara langsung. Tahun 1411,
untuk kedua kalinya, ia pergi ke Tiongkok. Kali ini seperti dicatat Faridah
Abdul Rashid dalam Research
on the Early Malay Doctors 1900-1957 Malaya and Singapore (2012:61),
ia ditemani sang permaisuri beserta rombongan yang berjumlah 450 orang.
Iskandar Syah memang membutuhkan Cina sebagai
antisipasi apabila datang ancaman lagi dari Majapahit, atau dari kerajaan
lainnya, termasuk Siam (Thailand). Dan, kekhawatiran Iskandar Syah itu memang
pada akhirnya menjadi nyata.
Pada 1409, Malaka diserang Siam, namun datang
bantuan dari Cina yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho sehingga keamanan
Malaka tetap terjaga (Carl Vadivella Belle, Tragic Orphans: Indians in Malaysia, 2014:6).
Sejak saat itu, para rival harus berpikir ulang jika ingin menyerang kerajaan
Islam di Semenanjung Malaya tersebut.
Kemitraan antara Malaka dengan Kekaisaran
Tiongkok berlangsung cukup lama. Ketika Parameswara atau Iskandar Syah wafat
pada 1414, sang putra mahkota Megat Iskandar Syah menyampaikan kabar duka itu
langsung di hadapan Kaisar Cina. Megat Iskandar Syah kemudian dinobatkan
sebagai penguasa Malaka selanjutnya dan memimpin hingga 1424.
Korban
Persaingan Dua Raksasa
Kedatangan Portugis ke Malaka yang akhirnya
berbuah keruntuhan kerajaan Islam itu sebenarnya merupakan imbas dari
persaingan dengan Cina. Portugis berambisi menguasai bandar dagang strategis di
Malaka untuk menghentikan aktivitas niaga Cina sekaligus menyainginya.
Pelabuhan Malaka memang menggiurkan dan akan
sangat bermanfaat jika bisa dikuasai. Berbagai komoditi berharga diperdagangkan
di situ, seperti emas, timah, kapur, dan tentu saja rempah-rempah, terutama
lada yang sangat laku di pasaran Eropa. Malaka pun muncul sebagai kekuatan
utama dalam penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir
yang mengapit selat itu (A.J. Halimi, 2008).
Raja Portugis saat itu, Manuel I (1495-1521),
memang mengincar kota pelabuhan Malaka yang terletak di jalur dagang antara
Tiongkok dan India (John Holland Rose, et.al.,
The Cambridge History of the British Empire Arthur Percival Newton,
1929:11). Misi perebutan Malaka merupakan bagian dari rencana besar Raja Manuel
I demi memperluas pengaruh perdagangan Portugis untuk menandingi Cina yang
menguasai pangsa perniagaan di Asia.
Ketika Portugis menghabisi Malaka pada 1511,
Cina belum sempat membantu, tapi nantinya melakukan pembalasan. Tahun 1520,
Kerajaan Portugis mengirimkan utusannya bernama Tome Pires ke Beijing untuk
berunding. Namun yang terjadi justru Pires dibui hingga tewas (Kenneth S.
Latourette, The
Chinese, Their History and Culture, 1964:235).
Sebanyak 23 orang yang turut dalam rombongan
Portugis tersebut dihukum mati, sedangkan puluhan orang lainnya disiksa di
penjara. Tak hanya itu, Tiongkok juga menghabisi orang-orang Portugis yang ada
di wilayahnya, termasuk di Ningbo dan Quanzhou (Ernest S. Dodge, Islands and Empires: Western Impact on
the Pacific and East Asia, 1976:226).
Nigel Cameron (1976:143) dalam Barbarians and Mandarins: Thirteen
Centuries of Western Travelers in China menyebut bahwa
tindakan keras Cina itu dipicu oleh pemberitahuan dari Malaka bahwa Portugis menerapkan
siasat licik untuk menyerang Malaka, yakni semula hanya ingin berdagang, tapi
kemudian justru menyerang dengan mengerahkan ribuan pasukan.
Malaka yang selama satu abad sejak awal
berdirinya menuai kejayaan, terutama dalam perekonomian dan perdagangan
akhirnya dihancurkan Portugis pada 1511. Kendati demikian, ambisi Portugis yang
ingin menguasai Malaka ternyata tidak sepenuhnya sukses. Keruntuhan Malaka
justru memantik kemunculan beberapa kerajaan lokal lainnya yang cukup
merepotkan Portugis, seperti Johor, Aceh Darussalam, serta Banten.
Tak hanya itu, serangan Portugis terhadap Malaka
juga telah memicu bangsa-bangsa Eropa lainnya, termasuk Inggris, Belanda, juga
Spanyol, berbondong-bondong datang ke Nusantara. Situasi ini semakin
mempersulit Portugis untuk mewujudkan ambisi besarnya dan akhirnya justru
terlempar dari persaingan.