
Keterangan Gambar : Pisang matang di pohon. FOTO/iStockphoto
Dalam Kitab Kejadian, Tuhan menciptakan langit
dan bumi dalam enam hari. Dalam kurun waktu itu, ia ciptakan buah-buahan pada
hari kedua dan kemudian Adam di hari keenam, hari terakhir.
Selepas beristirahan di hari Sabat, melalui
salah satu tulang rusuk milik Adam, Tuhan menciptakan Hawa. Tak perlu
menggunakan Tinder, keduanya, Adam dan Hawa, lantas menjadi sepasang kekasih.
Tuhan, Yang Maha Pemurah dan Pengasih, kemudian mengizinkan sepasang kekasih
itu tinggal di taman miliknya, surga. Namun, dengan satu syarat: Adam dan Hawa
boleh memakan semua buah-buahan di surga, kecuali buah yang dihasilkan ‘Pohon
Pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat,’ atau dalam teologi Islam, Pohon
Khuldi (Syajarati al-Khulud).
Di sisi lain, Iblis, yang cemburu atas
penciptaan manusia, bersiasat menyingkirkan Adam dan Hawa dari surga. Iblis
mendekati sepasang kekasih itu dan membisik bahwa buah yang dihasilkan pohon
terlarang itu tidak apa-apa untuk dimakan. Adam dan Hawa terlena. Mereka
memakan buah yang dihasilkan pohon terlarang. Tuhan, sang Maha Mengetahui,
marah pada Adam dan Hawa dan seketika juga mengusir mereka dari surga.
Tidak ada yang tahu pasti apa sebenarnya buah
yang dihasilkan pohon keramat itu yang menyebabkan Adam dan Hawa terusir dari
surga. Pendapat paling umum, buah yang dimakan Adam dan Hawa itu ialah apel.
Asumsi ini berawal dari Jerome atau Hieronimus, seorang pastor sekaligus
arkeolog yang menerjemahkan Alkitab dari bahasa Ibrani ke bahasa Latin (Vulgata) sekitar tahun 400
Masehi di bawah pengawasan Paus Damasus I. Beberapa abad kemudian, karya
terjemahan Hieronimus dijadikan rujukan Alkitab berbahasa Inggris, yang dicetak
secara masif melalui mesin ciptaan Johannes Gutenberg.
Menurut Carolus Linnaeus, bapak taksonomi modern
yang namanya akrab di telinga pelajar-pelajar Indonesia (dan dunia), buah yang
menyebabkan terusirnya Adam dan Hawa bukanlah apel, melainkan pisang.
Pisang:
Buah Surga yang Menginvasi Dunia
Dan Koeppel, kolumnis The New York Times
Magazine dan Popular Science, melalui bukunya berjudul “Banana: The Fate of The Fruit That Changed The World,” menyebut bahwa bahasa Latin, dalam beberapa kasus, mirip seperti
bahasa Inggris juga bahasa Indonesia. Bahasa Latin mengandung homonim, suatu
kata yang memiliki bunyi sama dengan kata lain, tetapi memiliki makna berbeda.
“Bisa” misalnya. Ia dapat berarti “mampu” atau “racun”.
Dalam Vulgata,
Jerome memilih kata malum untuk
menerjemahkan buah “baik dan buruk” Suatu kata yang, jika diterjemahkan
langsung, berarti apel, sebagai satu dari cukup banyak makna terjemahannya.
Koeppel, yang mengutip pendapat Schneir Levin, seorang arkeolog alkitab,
menyatakan bahwa seharusnya maksud paling tepat yang terkandung dalam kata “malum” untuk
mendeskripsikan buah yang dimakan Adam dan Hawa adalah malicious--jahat, bukan
apel.
Sayangnya, ketika seniman-seniman di zaman
Renaisans hendak melukis tentang surga, mereka menggunakan Alkitab cetakan
Gutenberg sebagai rujukan. Jadilah apel buah yang menyebabkan Adam dan Hawa
terusir.
Carolus Linnaeus kukuh pada pendiriannya. Ia
sangat percaya bahwa pisang adalah buah surga dan buah yang menjadi sebab Adam
dan Hawa terusir dari surga. Nama saintifik untuk pisang manis berwarna kuning,
Linnaeus memilihkannya sebagai Musa
sapentium yang berakar dari bahasa Latin yang berarti
(bijaksana). Sementara untuk pisang berwarna hijau, Linnaeus memilihkan
kata Musa
paradisiaca alias pisang
dari surga. Kata “Musa” sendiri ia ambil dari mauz, kata Arab untuk buah.
Pemilihan nama yang tepat, menurut Koeppel.
Dalam bukunya itu, Koeppel berpendapat bahwa dalam Al-Quran--sebagaimana
tersemat dalam Surat Al-Waqi’ah--pisang memang buah surga. Sementara itu, nama
yang disematkan untuk pohon sakral yang buahnya dimakan Adam dan Hawa
adalah talh,
kata yang oleh sarjana-sarjana Muslim sering diartikan sebagai “pohon surga”.
Dalam teologis Kristen, selepas Adam dan Hawa
memakan buah dari pohon terlarang, pakaian mereka berdua tiba-tiba hilang. Agar
tidak telanjang, keduanya meraih daun ara (fig
leaves). Bagi Koeppel, dalam kasus ini, tidak ada kekeliruan
penerjemahan fig leaves,
melainkan kesalahpahaman. Klaimnya, dalam catatan sejarah, pisang sering
disebut sebagai figs.
Ketika Aleksander Agung pulang dari India membawa sampel pisang, ia menyebut
buah itu fig of Eve.
Lantas, ke mana pisang selepas Adam dan Hawa
diusir ke dunia oleh Tuhan dari surga?
Bagi masyarakat Baduy, selepas Adam dan Hawa
terusir dari surga, mereka berdua mendarat di dunia di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Bagi Koeppel, masih dalam bukunya itu,
pisang pun akhirnya turun ke dunia, tetapi tidak mendarat di tempat yang sama sebagaimana
kepercayaan Baduy tentang Adam, melainkan melebar sekitar 4.500 kilometer ke
arah Barat Laut dari Baduy. Tepatnya di India.
Masyarakat Hindu di India menyebut pisang
sebagai kalpatharu. Kata
itu diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti "pohon
kebijaksanaan". Dalam kepercayaan Hindu, pisang merupakan reinkarnasi dari
Lakshmi, dewi kemakmuran, kecantikan, dan kebijaksanaan. Di sana, lazim bagi
seorang mempelai pria membawakan pisang untuk mempelai wanita, sebagai tanda
kesuburan.
India merupakan negeri penghasil pisang terbesar
di dunia. Saban tahun, menurut Koeppel, India memproduksi sekitar 17 juta ton
pisang, merepresentasikan 20 persen total produksi pisang di seluruh dunia.
Secara biodiversiti, India juga merupakan negeri yang paling banyak memiliki
variasi pisang. Lebih dari 670 jenis pisang muncul di India, dengan Thella Chakkarakeli sebagai
yang paling populer. India mendeskripsikan pisang sebagai “hadiah terindah dari
Ibu Pertiwi”.
Dari India, pisang menyebar searah jarum jam.
Menuju Asia Selatan. Menuju Asia Tenggara. Menuju Pasifik. Menuju Australia.
Menuju Afrika. Menuju Eropa. Menuju Amerika.
Meskipun India adalah tempat pertama kali pisang
muncul, Kuk Swamp, daerah yang berada tepat di jantung Papua Nugini, menjadi
yang pertama membudidayakan pisang. Kuk Swamp merupakan rawa di Lembah Wahgi.
Menurut Koeppel, daerah ini termasuk 'baru' dalam catatan sejarah geografi.
Sebelum manusia sampai di rawa ini, Kuk Swamp tak ubahnya belantara rerumputan.
Namun, tatkala pemanasan global menyelimuti Bumi di penghujung zaman es, yang
menyebabkan muka air laut meningkat, tetumbuhan yang kaya variasinya muncul di
Kuk Swamp.
Di awal dekade 1970-an, tatkala ilmuwan ingin
mencari lokasi yang tepat untuk membangun perkebunan, mereka menemukan phytolith di Kuk
Swamp. Phytolith adalah
jasad tumbuhan yang berukuran sebesar butir pasir dari pisang yang tersebar
rapi. Yang jelas, menurut Koeppel, pisang yang dibudidayakan orang-orang di Kuk
Swamp berbeda dengan pisang yang dimakan manusia saat ini. Alasannya, mengutip
pernyataan Edmond De Langhe, ahli botani dari Belgia, orang-orang Kuk Swamp
tidak memakan buahnya, melainkan batang pohonnya, yang dikenal sebagian
masyarakat Indonesia dengan sebutan “gedebog pisang”.
Dari India, pisang menyebar terutama terjadi
kala pelayaran antar samudera sedang jaya-jayanya.
Menurut Koeppel, salah satu cara terbaik melihat
persebaran pisang di dunia dapat dilihat dari nama lokal yang diberikan untuk
buah dari surga ini. Di wilayah Pasifik, orang-orang Samoa menyebut pisang mei’a. Di Selandia Baru,
orang-orang menamainya maika. Di
Hawaii nama mai’a dipilih
untuk menyebut pisang.
Di Asia Tenggara, memanjang dari Malaysia,
Filipina, Indonesia, dan sebagian Papua “pisang” adalah namanya. Tentu, Papua
tidak hanya menamai pisang dengan kata “pisang” Sebagian masyarakatnya
menyebut pudi dan fud, nama yang memiliki
kemiripan bunyi dengan huti untuk
menyebut pisang bagi masyarakat Kepulauan Solomon dan vud, sebutan pisang bagi
masyarakat Fiji.
Di Tahiti, pisang disebut sebagai fe’i, mirip dengan apa
yang diucap masyarakat Hawaii untuk pisang. Jauh ke Afrika, tepatnya di
Tanzania, pisang disebut masyarakat sana dengan nama huti. Menjejak tanah
Amerika, tepatnya di wilayah Amerika Selatan, salah satu jenis pisang di sana
dinamai rapa nui yang
memiliki nama lainnya yakni maika.
Diyakini, pisang sampai ke tanah Amerika melalui tangan pelaut-pelaut
Polinesia, dengan Bahia de Caraquez di Ekuador sebagai tempat berlabuhnya.
Sumber
Kekayaan
Bagai minyak bagi Standard Oil Company atau
emas bagi Freeport McMoran atau data bagi Google, pisang merupakan sumber
kekayaan bagi kapitalis Amerika Serikat selepas Perang Sipil berakhir. Pisang
memang tidak dibudidayakan di AS, tetapi di wilayah benua Amerika lain, Jamaika
misalnya. Pisang dibawa untuk diperjualbelikan secara masif di tanah AS kali
pertama dilakukan oleh Lorenzo Dow Baker, kapten kapal Telegraph pada abad
ke-19.
Awalnya, Baker tidak menggunakan peralatan
khusus untuk membawa pisang dari Jamaika ke AS. Baker hanya meletakkan pisang
di dek kapal, memungkinkan pisang terhempas angin laut, cara yang menurutnya
terbaik untuk tetap menjaga pisang tetap segar. Secara umum, perjalanan kapal
dari Jamaika menuju AS membutuhkan waktu lebih dari dua minggu. Baker
beruntung. Dengan cuaca yang tepat, ia membawa pisang dari Jamaika ke AS hanya
dalam tempo 11 hari sehingga membuatnya untung $6.400--dalam kurs dollar saat
itu--dalam perjalanan perdana tersebut.
Waktu berlalu. Untuk membuat pisang lebih segar
ke pasar AS, Baker menggunakan berton-ton es untuk menjaga kesegaran
pisang-pisangnya saat melintasi lautan. Pada 1885, bekerjasama dengan Andrew
Preston, orang kaya asal Inggris, Baker berkongsi mendirikan eksportir pisang
terbesar, Boston Fruit yang kini dikenal dengan nama Chiquita Brands International.
Sebagai buah yang popularitasnya meningkat
pesat di AS, pisang tidak hanya dibawa Boston Fruit. Pada pertengahan abad
ke-19, Minor C. Keith juga melakukannya. Namun, pisang yang dibawa Keith ke AS
bukan berasal dari Jamaika, melainkan Kosta Rika.
Masuknya Keith ke bisnis pisang terjadi berkat
keberuntungan pamannya, Henry Meiggs. Di abad ke-19 itu Meiggs adalah sosok
terpandang. Jalur kereta api di hampir seluruh wilayah Amerika Latin, seperti
Chile dan Peru lahir dari tangannya. Pada suatu ketika, Meiggs diminta
Pemerintah Kosta Rika melanjutkan pembangunan jalur kereta api di sana yang tak
kunjung beres. Meiggs setuju. Ia lantas mengajak keponakannya untuk ikut serta.
Pada 1877 Meiggs meninggal dunia. Ia mewariskan
pembangunan jalur kereta api yang belum tuntas dan hutang yang menumpuk kepada
keponakannya. Di sisi lain Pemerintah Kosta Rika tidak memiliki uang lagi untuk
membiayai pembangunan jalur kereta. Tak ingin mengecewakan mendiang pamannya
dan Pemerintah Kosta Rika, Keith tak mau menyerah. Ia lantas meminjam uang
senilai 1,2 juta poundsterling--setara dengan $175 juta saat ini--kepada
teman-temannya di Inggris. Singkat kata, Keith kemudian mendatangi Presiden
Kosta Rika kala itu, Prospero Fernandez Oreamuno, untuk menyelesaikan jalur
kereta api. Tahu bahwa pemerintah tidak punya uang mengganti hutangnya, Keith
mengajukan tiga syarat: kendali jalur kereta api Kosta Rika secara penuh selama
99 tahun, diberi kuasa untuk menggunakan pelabuhan Limon, dan diberi hak
bercocok tanam pada tanah seluas lebih dari 30.000 hektar di negeri itu.
Presiden setuju. Keith merampungkan jalur kereta.
Melalui jalur kereta api, pelabuhan, dan
berhektar-hektar tanah, Keith mengadu nasibnya melalui pisang. Keith menanam
pisang di Kosta Rika dan melalui kereta api serta pelabuhan, ia mengirimkan
pisang-pisangnya ke AS.
Keith, sebut Koeppel, sukses membangun “monarki
kerajaan pisang di Amerika Latin.”