
Keterangan Gambar : Ribuan tahanan perang Jerman berjalan dikawal oleh pasukan Sekutu mengendarai tank, truk, dan jip (4/5/1945). FOTO/CORBIS
Pervitin dipakai oleh tentara Nazi selama Perang Dunia II.
Kabarbawah.com - Pada 20 Mei 1940, seorang tentara berusia
22 tahun bernama Heinrich Boll menulis surat kepada pusat militer Jerman. Boll
yang seorang prajurit Nazi, menulis, "Mungkin
Anda bisa mendapatkan lebih banyak pervitin untuk persedianku?”
Di Jerman, pervitin adalah nama lain dari metamfetamina --di Indonesia dikenal
dengan nama sabu. Böll merasa peperangan benar-benar membuatnya lesu dan cemas.
Untuk dapat membuatnya semangat, ia mengkonsumsi obat-obatan macam pervitin
yang saat itu legal. Böll kecanduan meski sudah ada peringatan di kemasan obat:
pervitin hanya dipakai untuk menjaga stamina dan tidak untuk pemakaian jangka
panjang.
Böll bilang bahwa satu pil pervitin dapat membuat penglihatannya tetap waspada
layaknya menenggak satu liter kopi kental, bahkan diklaim khasiatnya lebih baik
dari sekadar minum kopi. Ketika memakai pervitin, Böll tak lagi merasakan
kekhawatiran, dan lebih tenang serta tentram.
Belakangan, nama Böll terkenal setelah ia pensiun dari tentara dan menjadi
salah satu penulis pascaperang terkemuka di Jerman. Ia pernah memenangkan
Hadiah Nobel untuk sastra pada 1972.
Obat Ajaib Tentara Nazi
Pada 1930-an perusahaan farmasi di Jerman mengembangkan obat mengandung
metamfetamina yang kemudian dinamai pervitin dan diedarkan ke pasaran.
Penelitian Ray J. Defalque dan Amos J. Wright di Bulletin of Anesthesia
History berjudul “Methamphetamine for Hitler’s Germany: 1937 to 1945”
(2011, PDF) mencatat, pervitin
yang berbentuk tablet itu laku keras di kalangan perawat, operator telepon, dan
para penjaga keamanan, alias pekerja malam yang kerap kelelahan akibat beban
kerja. Di kalangan kawula muda yang ingin mencari kesenangan, pervitin menjadi
obat andalan untuk menciptakan suasana gembira. Tak jarang dipakai untuk
menambah kenikmatan sewaktu bercinta.
Ketika itu, pervitin punya reputasi baik dan tidak dipandang sebagai obat
berbahaya. Malahan pemerintah Jerman mendukung agar terus dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengungkap berbagai manfaat baik yang bisa didapat dari
pervitin. Itu terlihat saat akhir 1939, ketika ada lebih dari 100 studi klinis
mengenai metamfetamina yang semuanya bernada baik seperti untuk bedah,
pengobatan asma, sakit kepala, skizofrenia, depresi, dan lainnya.
Namun,
di waktu yang sama, beberapa studi ilmiah lainnya sebenarnya turut membeberkan
dampak buruk pervitin terutama sifatnya yang membikin kecanduan. Mereka
mendorong pemerintah ikut campur dengan mengontrol penggunaan pervitin yang
terlanjur beredar luas di masyarakat. Pada November 1939, pemerintah Jerman
resmi mewajibkan resep dokter untuk penggunaan pervitin.
Kenyataannya, obat itu disalahgunakan. Termasuk
dikonsumsi massal oleh tentara Nazi ketika bertarung di Perang Dunia II.
Menurut James Holland, sejarawan Perang Dunia II
seperti dilansir Live
Science, pada 1940 pervitin sengaja dipasok untuk ke
pilot angkatan udara Nazi (Luftwaffe) agar kuat menghadapi kerasnya misi
pertempuran udara yang melelahkan. Obat itu dipakai untuk mengusir insomnia dan
kelaparan jika pesawat mereka ditembak jatuh musuh lalu terdampar di tempat
terpencil.

Saat serangan udara besar-besaran Jerman ke
Inggris yang dinamai operasi Blitz (1940 – 1941), catatan kantor perang Inggris
memperkirakan bahwa dari April hingga Juni 1940 sekitar 35 juta tablet pervitin
dipasok ke tiga juta angkatan darat, laut, dan udara Jerman.
Selain operasi Blitz, pervitin dipakai Jerman
saat menyerang Prancis pada 1940. Faktor geografis yang bikin tentara lelah,
dan tak leluasa istirahat, membuat para tentara memilih minum pervitin tiga
kali sehari: satu tablet di pagi hari dan dua tablet di malam hari. Mereka
bahkan dipersilakan mengkonsumsi lebih banyak lagi tergantung kebutuhan.
Hasilnya, Jerman bisa menang atas Perancis.
Ketika Jerman menang atas sekutu dalam
pertempuran Dunkirk, pervitin berperan membuat pasukan Nazi menjadi manusia
super. Mereka kuat bertarung selama 10 hari berturut-turut tanpa lelah,
menjebak dan menggasak pasukan Inggris.
"Jika tidak ada obat-obatan itu, ya tidak
akan ada invasi," kata Norman Ohler penulis buku Blitzed: Drugs in
the Third Reich (2017) kepada The
Guardian. “Obat itu memungkinkan mereka untuk tetap
terjaga selama tiga hari tiga malam”.
Dijiplak Inggris dan Amerika
Nazi bukanlah satu-satunya bala tentara yang
menyalahgunakan obat stimulan untuk mendongkrak daya gedor para prajuritnya. Di
pihak sekutu, Inggris dan Amerika Serikat ikut memakai obat-obatan sebagai
pendongkrak stamina prajurit. Hal ini terungkap dalam tayangan Public Broadcasting Service (PBS) Secrets of the Dead dengan episode berjudul "World War Speed"
Ketika obat super itu ditemukan oleh agen
intelijen Inggris di pesawat tentara Nazi yang jatuh, para pejabat ingin
melakukan hal yang sama dengan mengembangkan obat unggulan serupa. Mereka
kemudian menetapkan amfetamin benzedrine dalam bentuk tablet dan inhalansia.
Inggris menyetujui penggunaan obat-obatan tersebut pada 1941 dan segera
memasoknya ke pasukan angkatan udara Inggris lewat petugas medis yang bekerja
di sana dengan dosis 10 miligram per hari.
Tidak cuma Inggris, pasukan Amerika ikut-ikutan
memakai benzedrine. Ketika Amerika mendarat di Afrika Utara dalam operasi Torch
pada tahun 1942, mereka bertempur di bawah pengaruh setengah juta tablet
benzedrine yang dipasok atas perintah Jenderal Dwight D. Eisenhower yang
kemudian menjadi Presiden AS ke-34.
Satuan Brigade Tank Lapis Baja Inggris 24 yang
bertempur di Mesir malah diberi dosis 20 miligram Benzedrine per hari, melebihi
dosis pasukan angkatan udara. Dilansir dari Gizmodo, para peneliti saat
itu menemukan efek benzedrine dapat memberikan dorongan semangat, meningkatkan
kepercayaan diri, dan bisa bersikap lebih agresif.
Obat-obatan stimulan ini menyimpan efek samping
yang buruk. Selain kecanduan, para prajurit Nazi yang mengkonsumsi Pervitin
mengalami gangguan tubuh lantaran kurang tidur, kerap pusing, halusinasi, dan
lainnya. Ada tentara yang sampai meninggal dunia karena gagal jantung. Yang
lain justru menembak dirinya sendiri selama fase psikotik.
"Tingkat kecanduan akut dan betapa berbahanya
mereka tidak dipahami dengan benar, kata Holland kepada Live
Science. "Pada akhir perang, hanya
sedikit bantuan yang ditawarkan untuk orang-orang yang kecanduan ini".
Tidak cuma prajurit
Nazi yang kecanduan obat-obatan, Adolf Hitler sang pemimpin Nazi bahkan mengandalkan suntikan oksikodon (obat opioid analgesik) dan kokain tiap
harinya sebagai bahan bakar kekuatannya memimpin perang dan mengatur strategi.
Hitler sadar bahwa dirinya kecanduan opiat dan menuding dokter pribadinya,
Theodor Morell sebagai biang keroknya.
Pada akhir April 1945, menjelang berakhirnya Perang Dunia II
di mana Jerman makin banyak menderita kekalahan, Hitler yang bersembunyi di
bunker memecat dan mengusir Morell dengan amarah yang meledak-ledak.
"Kamu telah memberiku opiat sepanjang waktu! Keluar dari
bunker dan tinggalkan aku sendiri" teriak Hitler.