
Keterangan Gambar : Ilustrasi Stop Pemerkosaan. FOTO/iStockphoto
Kabarbawah.com - Seorang warga
Bolaang Mongondow, Sulawesi
Utara (Sulut), S (45) dihukum 12 tahun penjara. Pria kelahiran 27
Maret 1975 itu terbukti memperkosa remaja berusia 16 tahun yang memiliki
gangguan jiwa (orang
dengan gangguan jiwa/ODGJ).
Hal itu tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Kotamabugo yang
dilansir website Mahkamah Agung (MA), Minggu (25/10/2020). Kasus bermula saat S
melihat korban sedang menunggu bentor pada April 2020 petang.
S kemudian mengajak korban ke sebuah tanah kosong dan memperkosanya.
Korban langsung teriak dan menendang S. Pelaku yang ketakutan membujuk dengan
akan memberikan Rp 300 ribu asalkan korban tidak melaporkan ke polisi.
Korban pulang dengan badan gontai menceritakan semuanya kepada ibunya.
Pelaku pun ditangkap polisi dan diproses secara hukum. Di persidangan, pelaku
mengelak dan menyangkal telah memperkosa korban. Pelaku mengakui mengajak
korban ke pekarangan kosong tetapi tidak sampai memperkosa sebab korban sudah
duluan teriak dan lari.
Tapi apa kata majelis?
"Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana "dengan kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar
harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan," ucap majelis
yang diketuai Raja Bonar Wansi dengan anggota Sulherman dan Jovita Agustien
Saija.
Terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 81 ayat (1) UU
Perlindungan Anak. Putusan 12 tahun penjara setahun di bawah tuntutan jaksa.
"Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan belum pernah
dihukum," ucap majelis menjelaskan alasan meringankan mengapa hukuman
lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Majelis menyatakan, dii persidangan terhadap anak korban dalam
memberikan keterangannya tidak dibawah sumpah Hal tersebut dikarenakan
berdasarkan pengamatan Majelis Hakim di persidangan, Anak Korban memiliki
kebutuhan khusus atau mengalami sakit jiwa (vide Pasal 171 huruf b
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
"Sehingga berdasarkan Pasal 185 angka 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, keterangan Anak Korban tersebut tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan
dari saksi lainnya yang disumpah maka dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain," papar majelis.
Sumber Detik.com