
Keterangan Gambar : Country director RIGHTS Foundation/jurubicara KLC, Nukila Evanty. (foto: dok. ist.)
Kabarbawah.com - Keputusan
Menteri Kesehatan momor HK.01.07/MENKES/12757/2020
tentang Penetapan Sasaran Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) mengatur, masyarakat yang mendapatkan pemberitahuan melalui short
message service (SMS) blast wajib mengikuti vaksinasi.
Terkait dengan agenda vaksinasi Covid-19 tersebut, pemerintah provinsi
(pemprov) DKI Jakarta, telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun
2020, yang Pasal (30)-nya, mengatur ketentuan denda bagi warga penolak
vaksinasi.
"Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan
pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling
banyak sebesar Rp5.000.000," kutipan Pasal (30) Perda tersebut.
Terkait dengan ketentuan denda tersebut, ahli Hak Asasi Manusia (HAM),
Nukila Evanty menilai, pemprov DKI sebaiknya menahan diri. Pasalnya, Pasal (30)
Perda 2/2020 itu tengah dalam proses uji di Mahmakah Agung (MA) saat ini.
Uji materi Pasal (30) Perda Covid-19 itu diajukan oleh Happy Hayati
Helmi dan telah didaftarkan ke MA pada Rabu (16/12/2020) lalu. Menurut
penggugat frasa 'dan/atau vaksinasi Covid-19' dalam Pasal (30) Perda
Covid-19 tersebut bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan
UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Proses gugatan warga negara sedang berjalan, mungkin baiknya
menahan diri menerapkan Perda ini," kata Nukila kepada GoNews.co,
Kamis (7/1/2020).
Lebih jauh country director RIGHTS Foundation (Regional
Initiatives for Governance, Human Rights dan Social Justice) ini menjelaskan,
pidana denda biasanya dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan.
"Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul
oleh orang lain. Lalu, apakah dengan jumlah 5 juta bisa dipikul oleh masyarakat
dan mampu dibayarkan?" tandas Nukila.
Menurutnya, pengenaan denda harus dicarikan keserasian antara kerugian
yang ditimbulkan dari penolakan vaksinasi dengan besarnya denda yang harus
dibayar. "Oleh karena itu, harus dipertimbangkan dengan saksama minimum
maupun maksimum (pidana) denda yang diancamkan,".
Denda atau pidana denda, terang Nukila, seringkali dijatuhkan dalam
perkara administrasi dan pajak, misalnya denda terhadap penyelundup, tilang
lalu lintas dan penunggak pajak. Konteks denda pun tak bisa sepihak, yang tidak
mau divaksin harus diberikan kesempatan untuk membela diri,".
"Mengapa tak mau divaksin? Karena alergi kah? Seumur hidup dia
mungkin tak pernah divaksin karena menyebabkan tubuhnya rentan, karena riwayat
kesehatan dan sebagainya. Mungkin itu yang harus dilakukan bagi yang
menolak," ujar Nukila.
Saat ini, sudah ada Peraturan Presiden nomor 99 tahun 2020 tentang
pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi
corona virus disease 2019 (Covid -19). Energi dan konsentrasi, menurut Nukila,
sebaiknya dicurahkan Pemda DKI berdasarkan PP tersebut bersama kementrian
kesehatan.
Dalam perspektif HAM, Nukila memungkasi, vaksinasi itu bersifat wajib
yaitu kebutuhan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan orang-orang yang
bersangkutan misalnya karena pandemi. Tetapi, tandas Dia, tetap ada hak
kebebasan memilih bagi individu pengenai penanhanan kesehatan kepada dirinya.
"Pemenuhan hak atas kesehatan berupa vaksinasi akan sia-sia jika
dilakukan tak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi jika
memberikan dampak kesehatan yang serius bagi individu yang rentan atau
masyarakat," tutup wanita yang juga dikenal sebagai jurubicara KLC
(Koalisi Lawan Corona).