
Keterangan Gambar : Kabarbawah.com
Kabarbawah.com - Esports adalah
fenomena industri hiburan yang kian digandrungi masyarakat. Hampir tiap negara
diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia melangsungkan event olahraga
kompetitif berbasis video game ini. Esports bukan cuma seru-seruan namun telah
menjadi bisnis besar yang bahkan melampaui keuntungan dari industri musik dan
film digabungkan.
Sayangnya, masih banyak sekelompok orang yang memiliki stigma-stigma
miring tentang esports. Mereka memandang main game tetaplah main game, tak
banyak keuntungan selain buang-buang waktu dan hal yang sia-sia.

ESPORTS SAMA SAJA
DENGAN MAIN GAME
Esports bukan sekedar duduk depan layar, mengendalikan karakter di
permainan dan menghabiskan waktu berjam-jam tanpa hasil nyata. Esports adalah
olahraga digital yang mana dibutuhkan atlet betulan dengan skill dan mental di
atas rata-rata pemain game biasa.
Atlet esports punya jadwal latihan, mengikuti turnamen mulai dari yang
berskala kecil, tingkat nasional bahkan kejuaraan dunia. Pada ujungnya, mereka
bisa mendapatkan hadiah berupa uang ratusan juta hingga miliaran Rupiah.
Sedangkan main game bisa dilakukan kapanpun tanpa ada benefit nyata selain
kepuasan saja.
ESPORTS
BUANG-BUANG WAKTU
Benar. Esports adalah karir bagi kalian yang punya keberanian untuk
mengorbankan banyak hal. Mulai dari keluarga, teman bahkan pendidikan. Banyak
atlet esports yang memulai kiprah mereka di usia masih belia atau di bangku
sekolah. Mereka harus bersembunyi-sembunyi saat berlatih hingga mengikuti
turnamen tanpa diketahui orang tua.
Ketika mereka memetik hasil, barulah mereka menunjukan kepada orang
terdekat usaha mereka sekian lama. Menembus scene esports di Indonesia sendiri
tidak mudah. Ada puluhan sampai ratusan ribu anak muda yang ingin jadi pro
player. Namun, jumlah yang terseleksi mungkin tak sampai 1% menjadi
profesional.
Seseorang yang ingin berhasil di dunia esports harus memulai dari
bawah, mendapat pengakuan seraya reputasinya berkembang dalam game yang ia
tekuni hingga dilirik oleh organisasi esports kenamaan. Prosesnya mungkin
panjang, namun ketika berhasil, semua itu terbayarkan seketika.
Ambil contoh Alberttt, pemain Mobile Legends dari tim RRQ Hoshi.
Awalnya hanya iseng ikut trial, sempat ditolak dan akhirnya masuk di tim lapis
dua RRQ. Di ajang MPL, liga Mobile Legends berskala nasional, ia diorbitkan ke
tim inti. Ia tak cuma memulai debut yang manis di turnamen besar pertamanya,
Alberttt juga menjadi juara dan kini dijuluki "Baby Alien".

Tak semua kisah pemain esports seperti Alberttt. Ada yang mengembangnya
butuh waktu lama, ada yang tak kunjung mekar, namun berhasil di lini lain
bidang esports. Banyak juga yang meledak lalu hilang kemudian karena tak mampu
mengendalikan arus popularitas.
ESPORTS TIDAK
MENYEHATKAN
Bermain game dalam waktu lama memang punya banyak dampak buruk. Mulai
dari kerusakan mata, cidera tangan, punggung dan kepala sampai bahaya radiasi.
Namun, esports bukanlah main game.
Dalam esports ada jadwal latihan, di mana satu pemain bersama rekan
setim akan diuji kekompakan, komunikasi dan skill secara kolektif. Mereka juga
diajarkan strategi layaknya pemain catur harus memposisikan bidak dengan cepat
dan tepat. Di sela-sela itu, pemain esports melakukan aktivitas olahraga guna
menjaga fisik tetap prima saat turnamen tiba.
Atlet esports juga tak bisa sembarangan mengkonsumsi sesuatu. Biasanya,
tiap organisasi memiliki chef atau koki rumahan yang mengatur menu makanan
untuk para atlet di sana sehingga mereka mendapat nutrisi yang baik dan
mencukupi.
ESPORTS TIDAK
PUNYA MASA DEPAN
Esports di Indonesia dan mungkin dunia masih terbilang bayi yang baru
belajar merangkak. Meski begitu, euforia dan kegelimangan fantasi soal
keberhasilan esports sudah menarik banyak pihak berkolaborasi didalamnya.

Seperti disebutkan di atas, salah satu industri dengan pendapatan
terbesar adalah musik dan film. Keduanya punya total keuntungan $300
miliar USD per tahun pada 2025 nanti. Namun, esports sudah melampauinya.
Menurut Statisa,
pendapatan esports dan video game sudah melesat senilai $950 miliar USD pada
2023 mendatang. Jadi, tak heran bila berbagai turnamen bakal tetap hadir, game
baru muncul melahirkan bakat-bakat fenomenal baru dan hadiah uang yang
digelontorkan makin tak masuk akal.
Bagi sebagian anak muda, esports bukan lagi masa depan. Esports adalah
tujuan yang akan mereka raih saat ini.
Itu dia beberapa stigma masyarakat tentang esports yang masih sering
kita dengar. Mudah-mudah dengan banyaknya pemuda Indonesia yang berhasil,
esports bisa membuka mata dan lebih diterima oleh mayoritas publik.
Siapa tahu, esports adalah solusi bangsa untuk mengatasi pengangguran
nasional, iya kan Sobat Esports?