
Kabarbawah.com - Massa
pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol di Washington DC, pada
Rabu (06/01) sore waktu setempat. Hal semacam ini bukan pemandangan yang biasa
Anda lihat di Amerika Serikat (AS). Namun, itulah yang terjadi setelah
berminggu-minggu Trump tidak menerima kekalahannya dalam pemilihan presiden
(pilpres) akhir tahun lalu. Trump berulang kali mengatakan kepada para
pendukungnya untuk tidak membiarkan Demokrat mencuri suara mereka.
Perwakilan Partai Republik Mike Gallagher, yang berlindung di kantornya
setelah pengunjuk rasa menerobos masuk ke Gedung Capitol, mengatakan kepada CNN
bahwa dia belum pernah melihat hal seperti itu sejak dia bertugas di Irak.
Sementara, anggota parlemen lain membandingkan kerusuhan di ibu kota AS mirip
dengan yang terjadi di Belarus baru-baru ini.
"Ini adalah pengkhianatan," kata pengamat politik Van Jones,
menyebut kerusuhan di Gedung Capitol sebagai tindakan huru-hara dan
pemberontakan. "Inilah yang terjadi ketika Anda tidak melaksanakan
transisi kekuasaan secara damai."
'Kita tidak akan
pernah menyerah'
Kedua kubu Kongres telah berkumpul di Gedung Capitol pada hari Rabu
(06/01) untuk mengesahkan kemenangan Electoral College Joe Biden, sebuah proses
yang bisa dibilang hanyalah formalitas, tetapi berubah menjadi titik pertikaian
dalam lanjutan drama pilpres AS setelah beberapa Senator Partai Republik
mengumumkan bahwa mereka secara resmi akan menolak hasil pilpres 3 November.
Kongres dihentikan ketika petugas keamanan menginterupsi jalannya
pengesahan untuk membawa Wakil Presiden AS Mike Pence ke tempat aman dan
mengevakuasi ruangan tersebut. Para pengunjuk rasa berhasil menerobos barikade
polisi. Mereka memecahkan jendela di lantai dasar Gedung Capitol dan menerobos
masuk ke ruangan Senat. Sebelumnya, para pendukung Trump telah berkumpul di
tempat pidato Trump menolak hasil pilpres.
"Kita tidak akan pernah menyerah," kata Trump kepada
kerumunan pendukungnya di sisi selatan Gedung Putih. "Kita tidak akan
pernah mengakui. Itu tidak akan pernah terjadi. Anda tidak akan mengakui jika
ada kecurangan. Negara kita sudah muak. Kita tidak akan menerimanya lagi."
Kejutan bagi
sistem politik AS
Para pengamat mengatakan bahwa narasi yang disampaikan Trump tersebut
yang membuat para pendukungnya melakukan kerusuhan.
"Kata-kata memang penting," kata Laura Merrifield Wilson,
asisten profesor ilmu politik di Universitas Indianapolis, kepada DW. "Apa
yang dikatakan seseorang (seperti Trump) dapat memicu kekerasan, dan itu adalah
fakta bahwa presiden terus meragukan hasil pemilu."
Pemilihan umum yang bebas dan transisi kekuasaan secara damai adalah
landasan demokrasi. AS di masa lalu menggambarkan negaranya sebagai mercusuar
dari sistem politik ini. Negara-negara yang sebelumnya otokratis mengambil
inspirasi dari AS ketika mereka pertama kali menjadi negara demokrasi.
"Sebagai orang Amerika, kita suka menganggap diri kita luar
biasa," ujar Wilson. "Ini bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk
belajar berbuat lebih baik - melihat bahwa kita tidak kebal terhadap tantangan
seperti ini, bahwa itu juga bisa terjadi di tanah Amerika."
Tidak membahayakan
demokrasi AS
Wilson mengatakan bahwa peristiwa itu mengkhawatirkan karena pemilihan
umum yang demokratis, "sebuah proses yang kita selenggarakan dengan sangat
baik," hanya akan berhasil jika rakyat menerima hasilnya. Namun, dia juga
menekankan bahwa dia tidak yakin fondasi demokrasi AS berada dalam bahaya.
"Jika pemerintahan kita benar dan sekokoh yang kita yakini, mereka
akan bertahan lama setelah semua ini," kata Wilson.
Omid Nouripour, perwakilan Partai Hijau di Bundestag Jerman, mengatakan
kepada DW bahwa "apa yang terjadi (di Washington) adalah pelanggaran
besar-besaran terhadap budaya politik… dan demokrasi AS, dan saya berharap ini
akan menjadi peringatan bagi orang-orang yang mendukung provokator untuk
semoga… menemukan cara untuk memecahkan polarisasi."