
Keterangan Gambar : Robot Asimo menggunakan sensor dan algoritma kecerdasan buatan untuk menuruni tangga dan menghindari rintangan. [Foto/wikipedia]
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah
mengambil bagian dalam kehidupan sehari-hari manusia saat ini, terlepas dari
fakta bahwa masih banyak yang belum menyadarinya. Jutaan manfaat berpotensi
muncul darinya, namun demikian seiring dengan semakin meningkatnya fungsi AI,
potensi ancaman yang akan dihadirkan pun meningkat pula. Bagaimana masa depan
manusia di tangan AI.
Kabarbawah.com - "AI apa ya?
Saya tidak tahu," cetus Bergita Paskalina Pricelia Lejo, (26), seorang
karyawan sebuah perusahaan multinasional yang bergerak dalam industri makanan
ketika ditanya mengenai apa itu Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Namun, ketika mendengarkan nama Siri disebut, ia
menjawab, "Kalau itu saya tahu. Itu seperti otak Apple begitu kan? Yang
membuat fungsi telepon seluler bekerja. Sistem cerdasnya Apple [yang]
menjalankan fungsi untuk telepon, SMS, kemudian menggerakkan aplikasi-aplikasi
yang khusus untuk Apple."
Hal yang sedikit berbeda diungkapkan oleh
Yosefin Candra Pranadewi, (26). Wanita yang bekerja sebagai konsultan sumber
daya manusia di Jakarta itu menyebut AI sebagai entitas yang nantinya akan
mengolah Big Data. "Cuma kita biasanya lebih kenal bentuknya pada hal-hal
yang robotik seperti itu," jelas Yosefin.
Ia pun mengamini jika AI sudah hadir dalam
kehidupan keseharian manusia, dan oleh karenanya manusia sangat terbantu dalam
keseharian mereka. "Hal-hal yang mempermudah hidup kita itu bagian dari
[AI]. Peralatan elektronik yang kita pakai juga bagian dari itu. [...]
bahkan search engine yang
kita pakai juga bagian dari [AI],” sebut Yosefin.
"Sejujurnya, yang saya tahu, AI itu bentuk
yang sangat canggihnya adalah robot. Hahaha."
Apa yang diungkapkan oleh dua wanita tersebut
boleh jadi merupakan representasi dari gambaran generasi milenial – yang
sesungguhnya cukup akrab dengan teknologi – akan masih asingnya istilah AI
dalam kehidupan mereka. Maka dapat dibayangkan pula, bagaimana butanya generasi
sebelumnya akan teknologi yang digadang-gadang akan memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia di masa depan ini.
Lantas apakah AI itu sendiri? Yang jelas, baik
Bergita maupun Yosefin tidak sepenuhnya salah. Menurut BBC, sederhananya AI merupakan "mesin" yang
mampu melakukan berbagai hal yang dipandang membutuhkan kecerdasan ketika
manusia melakukannya, seperti memahami bahasa manusia secara natural, mengenali
wajah dalam foto, mengemudikan kendaraan, atau menerka buku apa yang kita
mungkin sukai berdasarkan buku-buku yang telah kita baca sebelumnya.
Berbeda dengan robot pabrik yang terus menerus
melakukan hal yang berulang seperti mengemas suatu produk, AI membuka
kemungkinan untuk menyelesaikan suatu tugas setelah melakukan pembelajaran
lewat proses trial and error.
AI sudah banyak beredar dalam kehidupan
keseharian manusia. Google Assistant yang dapat ditemui pada smartphone Pixel, atau Siri pada ekosistem perangkat keras Apple,
dan Cortana pada sistem operasi Windows mungkin bisa merepresentasikan hal itu.
Dan jika lebih jeli lagi, AI yang lebih sederhana sesungguhnya dapat kita
temukan pada kalkulator, atau ketika memproses sejumlah data menggunakan
Microsoft Excel.
Saat ini, dengan segala keterbatasan teknologi
manusia, AI hanya baru bisa berkembang pada tahapan pengolahan data, termasuk
Big Data, untuk kemudian melakukan tugas tertentu seperti yang dilakukan oleh
Siri, Cortana, dan Google Assistant. AI model ini disebut dengan narrow AI (atau weak AI), yakni AI yang hanya dapat melakukan tugas-tugas
yang terbatas.
Namun demikian, teknologi ini tidak berhenti di
sini. Ilmuwan tersebut berupaya untuk mengembangkan AI hingga ke sebuah model
yang disebut dengan general AI (AGI atau strong AI). Sebuah model di mana AI dapat belajar dan beradaptasi untuk
kemudian melakukan hampir setiap tantangan ataupun tugas yang membutuhkan
kecerdasan manusia.
Centre For Study of Existential Risk University
of Cambridge menuliskan dalam laman resminya, meski saat ini general AI belum mampu diciptakan, banyak peneliti memprediksi
AI dengan tingkat kecerdasan manusia itu mampu terwujud di masa depan yang
tidak terlalu fana. Mereka memprediksi hal itu akan terwujud dalam tempo 300
tahun hingga dalam tempo 15 tahun, dengan sebagian besar prediksi tersebut
jatuh pada tempo 70 tahun.

Mempersiapkan Masa
Depan yang Dipenuhi AI
Bayangkan jika general AI menguasai dunia di masa depan. Suasana
futuristik tentu saja hinggap pada fantasi kita, di mana segala hal yang kita
lakukan, mulai dari memasak hingga mengelola sistem yang kompleks seperti
jaringan perkapalan global, akan dengan mudah dilakukan dengan bantuan AI.
Namun seiring dengan makin hebatnya kemampuan AI dan semakin umum fungsinya,
potensinya untuk berjalan ke arah yang "salah" pun akan semakin
meningkat. Film Terminator dengan general AI-nya yang disebut dengan
Skynet bisa menjadi gambaran akan potensi kehancuran yang mungkin dapat
diproduksi oleh AI model itu.
Max Tegmark, Presiden the Future of Life Institute, seperti dikutip dari
laman futurelife.org, mengatakan, ketika mempertimbangkan risiko yang
mungkin dibawa oleh AI, para ahli memikirkan setidaknya dua skenario besar.
Yang pertama adalah ketika AI diprogram untuk melakukan sesuatu yang bersifat
menghancurkan seperti ketika digunakan untuk perang. Risiko yang saat ini
muncul ketika narrow AI digunakan dalam perang, seperti untuk
menggerakkan senjata autonomous misalnya, akan berlipat ganda
ketika general AI mengambil alih.
Sementara yang kedua adalah ketika AI diprogram untuk melakukan suatu hal yang
menguntungkan, namun ia kemudian membangun sebuah metode yang bersifat
destruktif untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut, menurut Max, dapat terjadi
ketika manusia gagal menyejajarkan secara utuh tujuan AI dengan tujuan manusia,
sebuah hal yang sesungguhnya sangatlah sulit untuk dilakukan.
"Jika sistem superintelligent ditugaskan dalam sebuah
proyek geoengineering ambisius, sistem itu mungkin mendatangkan
malapetaka pada ekosistem kita sebagai efek sampingnya, dan melihat upaya
manusia untuk menghentikannya sebagai ancaman," jelas Max.
Nama-nama besar seperti Chief Executive Officer (CEO) Tesla Motors
dan SpaceX Elon Musk dan fisikawan genius Stephen Hawking juga telah
mengungkapkan potensi ancaman tersebut. Hawking menggarisbawahi bahwa teknologi
primitif AI yang digunakan saat ini sudah sangat berguna bagi manusia, namun ia
takut terhadap konsekuensi menciptakan sesuatu yang dapat bersaing atau bahkan
melebihi kemampuan manusia.
"[AI] akan dapat berjalan sendiri, dan mendesain ulang dirinya sendiri
pada tingkatan yang semakin meningkat," katanya. "Manusia, yang
dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat, tidak bisa bersaing, dan akan
digantikan."
Sementara itu, seperti dikutip dari BBC, tahun 2015 lalu, Musk pernah
mengatakan kepada mahasiswa the Massachusetts Institute of Technology (MIT)
bahwa AI merupakan "ancaman eksistensial terbesar" dari manusia.
Risiko AI sendiri saat ini sudah dapat dirasakan pada model narrow AI.
Orang saat ini sudah terlalu terbiasa untuk menaruh kepercayaan penuh pada
sistem canggih yang diciptakan oleh manusia. Padahal, sistem tersebut akan
memberikan umpan balik berdasarkan data yang tersedia, di mana data yang
tersedia tersebut tidak selalu merupakan data yang ter-input dengan baik. Ujungnya,
tidak semua jawaban atau tindakan yang dilakukan oleh narrow AI
menjadi sempurna.
Meski demikian, Musk dan sejumlah peneliti lainnya masih tetap meletakkan
kepercayaan mereka terhadap AI. Musk, misalnya, telah bergabung dengan sejumlah
miliarder lainnya seperti co-founder Paypal Peter Thiel, untuk
memberikan dana bantuan sebesar $1 milyar kepada OpenAI, sebuah perusahaan
non-profit yang bertujuan untuk mengembangkan AI untuk manfaat kemanusiaan.
Andrew Ng di Stanford University, yang juga kepala ilmuwan raksasa internet
Cina Baidu, mengatakan: ketakutan pada bangkitnya robot pembunuh itu seperti
mengkhawatirkan kelebihan penduduk di Mars.
Di sisi lain, berdasarkan data yang dari Accenture dan Frontier Economics yang
diolah Statista, AI memiliki potensi untuk meningkatkan Gross Value Added (GVA)
negara-negara di dunia pada tahun 2035. Pada tahun tersebut, AI diperkirakan
dapat meningkatkan GVA Amerika Serikat dari 2,6 persen menjadi 4,6 persen,
United Kingdom dari 2,5 persen menjadi 3,9 persen, Belanda dari 1,6 persen
menjadi 3,2 persen dan Jepang dari 0,8 persen menjadi 2,7 persen.
Pendapatan pasar AI global juga diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada
tahun 2015 "hanya" mencapai angka $126 miliar, maka pada tahun 2024
diproyeksikan mampu mencapai angka $3 triliun.
Dengan statistik dan manfaat sedemikian rupa, terlepas dari kemungkinan risiko
yang dibawanya, potensi AI jelas begitu sayang untuk disia-siakan.
Saat ini, banyak sekali penelitian yang sedang dilakukan untuk menjamin faktor
keamanan dari general AI di masa depan. Penelitian itu tidak hanya
dilakukan oleh para pengembang model AI tersebut, namun juga universitas dan
lembaga independen. DeepMind, yang merupakan bagian dari grup Alphabet
(perusahaan induk Google Inc.) merupakan salah satu perusahaan tersebut.
Mereka percaya bahwa AI tetap merupakan kunci menuju masa depan, dan akan
menjadi bagian yang lebih terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Global.
Dunia sudah bergerak sedemikian cepat, dan sementara itu, di Indonesia, orang masih
"sibuk" dengan kasus Kanjeng Dimas, dugaan penistaan agama oleh
Basuki Tjahaja Purnama, serta kasus kopi sianida Jessica Kumala Wongso.