
Keterangan Gambar : Ilustrasi kecerdasan buatan. REUTERS/Fabrizio Bensch
Banyak produk yang dipasarkan kini mengandung embel-embel AI, padahal
bukan.
Hari
ini, Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan ada di mana-mana.
Huawei dan OPPO menghadirkan AI dalam bentuk ponsel Huawei Mate 20 Pro dan OPPO
R15 Pro. Sementara Samsung menghadirkan AI pada kulkas ciptaan mereka: Samsung
Family Hub 2.0 Refrigerator. Dalam Consumer Electronic Show (CES) 2019, Oral-B,
produsen alat-alat kesehatan gigi, memperkenalkan sikat gigi yang diklaim
membawa kehebatan AI.
Sayangnya, tak semua gembar-gembor soal AI ini
benar.
Dalam “The State of AI,” The Verge menyebut bahwa
embel-embel AI seperti yang dibawa Oral-B tak lebih dari sekadar omong kosong.
Ia hanya membuat teknologi biasa, dipromosikan berlebihan sebagai AI. Bahkan
Luis Perez-Breva, pengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam
tulisannya di Quartz menegaskan:
embel-embel AI dalam produk-produk yang dijual bebas di masyarakat adalah hal
yang berlebihan.
Bagi Perez-Breva, canggihnya Alexa maupun Google
Assistant, bukanlah hasil dari AI. Menurutnya, dua fitur itu lebih pas disebut
sebagai hasil yang diperoleh dari machine learning, natural language processing, atau statistical algorithm semata. Itu semua adalah teknologi yang
mendukung terciptanya AI, bukan AI dalam bentuk utuh.
AI, dalam penjabaran yang paling sederhana,
merupakan algoritma super-cerdas, yang istilahnya dicetuskan pada 1956 oleh
seorang ilmuwan bernama John McCarthy. Sedangkan Technopedia menyebut AI sebagai, "...bidang
ilmu komputer yang menekankan pembuatan mesin cerdas yang bisa bekerja dan
bereaksi seperti manusia."
Dalam AI, ada sub-bidang yang saat ini tengah
berkembang seperti machine learning. Alih-alih memprogram suatu kegiatan dengan terperinci dan
terukur, machine learning dibuat
berdasarkan contoh dari jutaan, bahkan miliaran data. Dari sana, machine
learning dapat melakukan sebuah
kegiatan secara mandiri, tanpa ada tuntunan terperinci dan terukur dari
manusia. Dengan kata lain, machine learning merupakan segala hal yang membuat komputer bisa
belajar dengan sendirinya.
Mengutip apa yang ditulis Wired, banyak orang yang
punya pikiran berlebihan terhadap AI. Misalnya, AI dianggap teknologi yang jahat,
seperti yang ditampilkan dalam seri film Terminator. Pikiran seperti ini agak susah
dienyahkan, apalagi tokoh teknologi masa kini seperti Elon Musk juga
menyebarkan pemahaman yang sama. Seperti dilaporkan CNBC, bos SpaceX dan
Tesla itu menyebut bahwa AI sangat mungkin berimplikasi negatif.
“Ia berisiko lebih besar dibandingkan Korea
Utara," ujar Musk. "Dan, kompetisi superioritas di bidang AI sangat
mungkin menjadi penyebab Perang Dunia III. AI merupakan risiko paling mendasar
bagi kepunahan peradaban manusia.”
Pendapat Musk dibantah oleh banyak orang. Salah
satunya adalah Eric Schmidt, mantan Kepala Eksekutif pertama Google. Dalam
pemikiran Schmidt, Musk tak memahami potensi AI. Tentu saja, AI bisa berbahaya.
Namun itu tak lebih seperti pisau, yang akan berbahaya di tangan penjahat,
tetapi jadi berkah di tangan seorang juru masak.
“Anda tidak akan menciptakan telepon karena
kemungkinan penyalahgunaan telepon oleh orang jahat. Tidak. Anda akan membangun
telepon dan Anda akan mencoba mencari cara untuk mengawasi penyalahgunaan
telepon itu,” urai Schmidt.
Lantas, sejak kapan orang terkena euforia
sehingga semua-semua teknologi canggih dilabeli sebagai AI?
Bisa jadi sejak pertengahan 2017, ketika
beberapa ilmuwan Facebook merilis paper berjudul “Deal or No Deal? End-to-End
Learning for Negotiation Dialogues.” Paper itu bersumber dari riset di Facebook
tentang memperkenalkan bahasa alami pada AI dalam bentuk percakapan.
Dalam riset tersebut, tim peneliti menemukan hal
unik. Pada salah satu bot, ada percakapan yang berbunyi “Balls have zero to me
to me to me to me to me …”
Dalam benak para peneliti, apa yang diucapkan
bot itu bukanlah suatu masalah. Hanya semacam glitch dari sistem yang mereka buat. Namun, sebulan
selepas paper itu diunggah, Fast Company, media asal Amerika Serikat, menyebut fenomena itu
sebagai, “AI yang menciptakan bahasa baru!”
Publikasi Fast Company itu jadi viral. Seperti halnya banyak berita
viral lain, kisah itupun menyebar dengan disertai bumbu-bumbu bombastis yang
kebenarannya diragukan. Pada The Guardian, Zachary
Lipton, asisten profesor di Carnegie Mellon University, menyebut viralnya kabar
itu membuat penelitian menarik yang dilakukan Facebook menjadi hanya sekadar
"...omong kosong sensasional."
Menurut Lipton, sejak beberapa tahun terakhir,
masyarakat makin berminat pada topik-topik AI, juga tentang machine
learning, ataupun natural
language processing. Karena tingginya
tingkat permintaan bacaan bertema AI, semakin banyak pula konten media yang
membahas soal AI. Sayangnya, ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai
“AI misinformation epidemic”, yakni suatu fenomena ketika jurnalisme atau media
menghasilkan informasi-informasi yang salah dan berlebihan soal AI.
AI
misinformation epidemic bukan fenomena
baru. Ketika Electronic Numerical Integrator and Computer (ENIAC), komputer
awal yang berukuran sebesar bus lahir Pada dekade 1940an, jurnalis menyebutnya
sebagai “Frankenstein matematika,” hingga “mesin penyihir.”
Tak berapa lama berselang selepas ENIAC, Cornell Aeronautical
Laboratory merilis algoritma canggih bernama Perceptron. Ketika itu, jurnalis The New York Times menyebutnya sebagai
“otak elektronik” yang bisa “mengajar dirinya sendiri.”
Namun kesalahpahaman tentang AI ini dapat dimaklumi, apalagi
ini bidang yang sama sekali asing bagi banyak orang awam. Drew McDermott dalam
makalah “Artificial Intelligence Meets Natural Stupidity" yang diterbitkan
di SIGART Newsletter edisi April 1976, menyebut bahwa AI berada di perbatasan
antara kehormatan dan kegilaan. Karenanya, hal-hal aneh nan mistis tentang AI
saling terkait dengan segala unsur matematisnya.
Di kalangan akademisi bidang komputer bahkan masih sering
terjadi perdebatan dan kesalahpahaman tentang apa itu AI dan apa tujuan AI.
Karena itu pula, tak heran kalau ada banyak orang yang menganggap bahwa kelak
AI bisa melahirkan robot-robot yang memusnahkan umat manusia.