
Keterangan Gambar : Ilustrasi: Edi Wahyono
Kabarbawah.com - Lulus
tepat waktu atau bahkan lebih cepat, bagi beberapa orang memang menjadi salah
satu kebanggaan tersendiri, khususnya bagi para mahasiswa. Bagaimana
tidak, lha wong perjuangan untuk sampai pada step tersebut
tidak mudah. Ada usaha yang harus dibayar tuntas, njelimet, ruwet, dan
tidak main-main.
Contoh kecil perjuangan tersebut adalah harus mencuri start mengerjakan
tugas ketika yang lain sibuk hang
out, harus bolak-balik ke perpustakaan ketika yang lain sibuk kelayapan, dan
tentunya harus punya stok sabar yang berton-ton (khusus yang punya Dosen
Pembimbing "awesome").
Itu baru contoh kecil, lainnya tentu lebih banyak lagi. Maka dari itu,
meraih gelar sarjana baik pada program S1, S2, ataupun S3 dengan durasi waktu
yang lebih singkat bagi beberapa orang adalah sebuah pencapaian besar.
Sayangnya, sebagai orang yang menempuh perjuangan berdarah-darah itu,
saya kurang menikmati hasil akhirnya. Tidak, saya tidak sedang mencoba rendah
hati. Jujur, inilah yang saya rasakan pribadi.
Memang benar, sesaat saya merasa bahagia dan bangga. Namun, perasaan
positif akan takdir baik itu hanya berjalan seminggu-dua minggu setelah
dinyatakan "lulus" pada sidang akhir. Selebihnya, rasa gundah dan
cemaslah yang menghiasi malam-malam sebelum mata terpejam.
Bagaimana tidak gundah, saya lulus pada tahun di tengah-tengah pandemi
yang memporak-porandakan hampir seluruh sudut, tepi, maupun lini dalam
kehidupan. Sebagai warga negara biasa, tentu saya juga terdampak dalam situasi
kalut ini.
Apesnya, dampak yang saya rasakan lebih banyak mengarah pada
dampak-dampak negatif dibanding dengan dampak positifnya. Dampak yang jengkelin banget.
Benar-benar tak pernah terlintas di benak saya bahwa tahun 2020 akan se-"wonderfull" ini. Jauh, sangat jauh
dari ekspektasi.
Dua tahun lalu, saya sangat mendambakan dan cenderung tidak sabar untuk
menantikan apa yang akan terjadi pada tahun ini. Bayangan saya kala itu, tahun
2020 akan menjadi tahun yang spektakuler; saya akan menuntaskan
perjuangan sekuat yang saya bisa dengan cepat, kemudian berhasil meraih
beberapa pencapaian yang telah saya impikan.
Nyatanya, zonk! Hingga
akhir 2020 ini, pencapaian saya sebatas menuntaskan perjuangan untuk meraih
predikat "lulus". Selebihnya, pencapaian harus di-cancel terlebih
dahulu. Mirip alasan para politisi di depan layar kaca, terhadap
program-program yang belum terlaksana, "harus dialihkan",
"menunggu semuanya kondusif", "ada yang harus
diprioritaskan", dan beberapa alasan lainnya.
Sayangnya, jika saya menggunakan alasan "ada yang harus
diprioritaskan" tidak sesuai dengan kondisi saya. Karena saya belum ada
prioritas; lebih parah lagi, saya belum menjadi prioritasnya.
Sebenarnya, pencapaian yang saya harapkan pada tahun ini tidak
muluk-muluk amat. Realistis dan ekonomis. Sekadar lulus dan mendapat pekerjaan
yang sesuai dengan bidang dan keahlian saya. Sayangnya, hingga penghujung 2020
ini, saya hanya bisa mewujudkan yang pertama, lulus. Adapun yang kedua,
sepertinya semesta sedang menghadiahkan status free bagi saya.
Masalah Mendasar
Belum bekerjanya saya merupakan masalah mendasar yang sangat mempengaruhi
kehidupan saya pribadi. Satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi masalah
tersebut adalah mencari pekerjaan. Namun, pandemi lagi-lagi menunjukkan
kedigdayaannya, merumitkan berbagai hal, termasuk pekerjaan.
Beberapa orang harus mengubah jenis, cara, dan ritme pekerjaan mereka,
bahkan banyak juga yang harus kehilangan pekerjaannya. Pengangguran semakin
tumpah-ruah. Alhasil, banyak tunakarya yang siap menyerbu lowongan pekerjaan
apapun.
Situasi seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi para fresh graduate yang memburu
pekerjaan, seperti saya. Parahnya, bekal saya untuk ikut berlomba dalam
perebutan status pekerja, belum siap seratus persen. Ijazah saya belum
tergenggam, masih dalam proses. Entah proses pengetikan, pengecatan, atau
pelukisan. Yang sepertinya, proses tersebut terhambat juga karena situasi ini.
Ya, Corona juga membuat produktivitas printer kampus terganggu. Hehehe.
Belum lagi fakta bahwa tidak banyak lapangan pekerjaan yang siap
merekrut karyawan baru. Lalu mau bersaing di medan yang mana? Alhasil, situasi
yang saya hadapi ini membuat saya cukup insecure pada jenis-jenis
pertanyaan yang mengarah pada pekerjaan. Serupa pertanyaan, "Sibuk apa sekarang?" yang membuat saya
kikuk untuk menjawabnya.
Bahkan dalam kasus yang cukup ekstrem, saya memilih untuk menghindar
dari perbincangan dengan beberapa orang, termasuk kerabat. Biasanya demi
meminimalkan kemungkinan mendengar jenis pertanyaan seperti itu, saya memilih
untuk pura-pura tidak melihat kerabat yang jelas-jelas di depan mata. Naif,
bukan?
Yang lebih naif lagi, seringkali saya membatasi perbincangan dengan
orangtua. Saya memilih untuk terlibat pada tema-tema perbincangan yang jelas,
agama, kesehatan, berita terkini, ataupun hal lain yang pasti arahnya. Tapi
menghindar di situasi perbincangan random, yang ujung-ujungnya
memperbincangkan pribadi beberapa orang.
Bukan sok agamis. Namun, ujung dari ujungnya gibah tersebut. Punya
simpulan paksa yang cukup menyedihkan. Biasanya diawali dengan kalimat,
"Dia, loh, sudah...." dan dilanjutkan dengan kalimat, "Lha kamu
ini, belum...." Dibanding-bandingkan.
Situasi seperti ini membuat saya merasa lebih insecure dan
merasa rendah diri. Bahkan membenci diri saya sendiri. Saya benci atas
ketidakberdayaan diri saya dalam situasi ini. Saya benci diri saya yang terus
merutuki ketidakberdayaan diri saya sendiri, saya benci.
Namun, sebenci apapun saya dengan situasi dan diri saya sendiri, saya
mulai sadar. Tak ada manfaatnya terus-menerus merutuki diri sendiri. Saya hanya
manusia biasa, yang tidak istimewa. Wajar jika saya ikut terdampak di kondisi
ini, seperti orang lain pada umumnya.
Saya perlu mengubah mindset yang lebih positif. Kemudian, secara
tidak sengaja saya membaca status salah satu influencer Facebook. Posting-an tersebut menjelaskan
tentang self love. Karena
tertarik, saya mulai melirik kolom komentarnya.
Ada salah satu komentar yang cukup relevan dengan kondisi saya, yang
mengalami masalah terkait hilangnya self love di dirinya selama
pandemi. Kemudian, sang pemilik akun yang juga berprofesi sebagai psikolog
membalas komentar dengan memberikan saran, agar seseorang tersebut menaklukkan
tantangan lebih. "Melakukan lebih banyak hal yang menantang."
Duuaarr! Saya yang membaca
balasan singkat komentar tersebut merasa tertampar. Saya menyadari hal yang
luput dari kesadaran, bahwa setelah saya dinyatakan lulus, nyaris tak ada hal
baru yang cukup menantang yang saya lakukan. Saya hanya berusaha sibuk dengan
rutinitas-rutinitas memantau pergerakan media sosial.
Akhirnya, sembari saya menantikan kesempatan untuk memperebutkan
lowongan pekerjaan yang saya inginkan dan sesuai kemampuan akademis, belakangan
saya juga menyibukkan diri untuk pekerjaan-pekerjaan freelancer yang
tidak banyak menyita waktu. Menantang diri sendiri untuk menguasai beberapa hal
baru.
Karena Sarjana Lulusan Corona bukan hanya unggul dalam prestasi, tapi juga
harus pandai berkreasi.