Bagaimana Jika Vaksin Covid-19 Gak Mempan & Prokes Terus Dilanggar?

By Chelba Polanda 28 Jan 2021, 09:56:17 WIB Kesehatan
Bagaimana Jika Vaksin Covid-19 Gak Mempan & Prokes Terus Dilanggar?

Keterangan Gambar : Pastor Maksimilianus Dora, Pastor Paroki Santo Stefanus Sempan Timika (kiri) menerima suntikan vaksin COVID-19 Sinovac di Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (22/1/2021). ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding/mrh/hp.


Kabarbawah.com - Pandemi di tanah air tercinta tidak kunjung reda, Indonesia telah kehabisan peluang emas memerangi COVID- 19 di masa awal pandemi. Saat ini, kita serta sebagian negara lain di dunia tergantung sepenuhnya pada vaksin. Presiden Joko Widodo mendapat suntikan awal vaksin COVID- 19. Ini sekalian jadi awal dimulainya program vaksinasi COVID- 19 gelombang pertama.

Sesuai rencana nasional, terdapat kurang lebih 181, 5 juta orang ditargetkan menerima vaksin dengan total kebutuhan vaksin menggapai 426, 8 juta dosis. Pemerintah malahan berambisi menuntaskan program ini dalam jangka waktu dekat satu tahun saja. Walaupun demikian, warga wajib menyadari kalau vaksin bukan jaminan utama yang dapat menanggulangi pandemi dengan seketika.

Kunci emas menghentikan penyebaran COVID- 19 malah terdapat pada pelaksanaan protokol kesehatan yang disiplin. Nyaris seluruh orang ketahui langkah 5M, ialah mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, serta mengurangi mobilitas. Tetapi, pelaksanaannya nisbi belum konsisten. Begitu pula dengan pelaksanaan 3T—testing, tracing, serta treatment.

Seakan bersandar penuh pada efikasi vaksin, belum terdapat langkah pengetatan protokol kesehatan yang efisien ataupun persiapan langkah penanggulangan lain dari Pemerintah Indoensia. Sementara itu, banyak negara, semacam Cina, Korea Selatan, Selandia Baru, serta Taiwan, sukses menekan peningkatan penularan COVID- 19 dengan upaya pencegahan yang ketat serta disiplin.

“ Pandemi berlangsung kala patogen pindah dari satu badan ke badan lain. Sepanjang masih terdapat manusia yang dapat dijangkiti, mampu terpapar, sepanjang itu pandemi tidak bakal sempat berakhir,” cerah Profesor Sosiologi Bencana Nanyang Technological University( NTU) Singapore Sulfikar Amir kepada Tirto.

Ambil contoh wabah tadinya, semacam SARS- CoV( 2002- 2003) serta MERS- CoV( 2012). Keduanya sukses dihentikan tanpa vaksin dengan aksi preventif. Setelah itu, Flu Spanyol pada 1918 yang datang dalam beberapa gelombang sampai akhirnya lenyap.

Intinya, kata Sulfikar, pandemi tidak bakal sempat lenyap bila reaksi sosial lemah. Paling banter cuma menurun sedikit, setelah itu naik lagi, begitu seterusnya. Hingga tersisa sedikit orang yang belum terpapar, kemudian penularan menurun serta pandemi berakhir.

“ Bila Flu Spanyol dikalahkan dengan intervensi sosial. COVID- 19 mungkin besar dikalahkan intervensi medis, ialah vaksin,” kata Sulfikar.

Tetapi, apakah protokol kesehatan tidak dibutuhkan lagi bila telah menerima vaksin?

Banyak orang menyangka vaksin bagaikan obat kebal luar biasa. Apalagi, terdapat sekalangan orang yang menormalisasi aksi kumpul- kumpul dengan dalih“ menguji kemanjuran vaksin”. Sementara itu, vaksin tidak 100 persen melindungi badan dari paparan virus.

Semacam halnya perlengkapan kontrasepsi yang gunanya menghindari kehamilan, tetapi toh dapat pula kebobolan. Wajib disadari pula kalau sekalipun sudah divaksinasi, badan seorang senantiasa memerlukan waktu buat membentuk imunitas. Dari sebagian fase uji klinis, perlu 2 kali injeksi vaksin Sinovac dalam rentang 14 hari supaya seseorang imun terhadap COVID- 19. Serta lagi, antibodi baru tercipta maksimal 3 bulan pascainjeksi kedua.

Jadi, seorang yang baru saja divaksinasi senantiasa memiliki kemungkinan terinfeksi virus korona dikala keimunannya belum tercipta.

Belajar dari Ebola di Kongo

Permasalahan wabah ebola di Kongo dapat jadi cerminan gimana vaksinasi dapat kandas sebab melalaikan protokol kesehatan. Permasalahan awal peradangan virus ebola ditemui pada 1976 di Republik Demokratik Kongo. Pada 2014, wabah ebola merenggut korban lebih dari 11 ribu jiwa serta menginfeksi lebih dari 28 ribu orang. Guinea, Liberia, serta Sierra Leone merupakan 3 negara yang hadapi dampak wabah terparah.

Gelombang kedua wabah ebola menyerang 2 provinsi di Kongo, Kivu Utara serta Ituri, pada 2018. Dilaporkan lebih dari 2. 500 orang terinfeksi serta dua- pertiganya wafat. Dikala itu, penciptaan vaksin ebola dikebut serta didistribusikan dengan ketentuan kedaruratan—nisbi sama semacam vaksin COVID- 19 saat ini.

Pembuatan vaksin ebola darurat memakan waktu 5 tahun, dari 2014 sampai 2019. Itu terkategori lebih kilat dibandingkan proses pengembangan serta persetujuan vaksin di masa wajar yang umumnya memakan waktu 10- 15 tahun. Pada periode 2018- 2020, lebih dari 300 ribu orang sudah divaksinasi. Tetapi, wabah ebola senantiasa timbul pada 2018 serta yang terkini pada Juni 2020 kemudian.

Kenapa wabah senantiasa merebak dikala vaksin telah ada? Sebagian faktor dapat diajukan bagaikan penyebab, salah satunya merupakan konflik yang terjalin di Kongo. Sejarah panjang kekerasan pula melunturkan keyakinan warga Kongo terhadap petugas kesehatan asing.

BBC memberi tahu, pada retang Januari- Juli 2019, terjadi 198 serbuan terhadap petugas kesehatan serta sarana perawatan ebola. Suasana macam ini turut membuat pelacakan penyebaran virus kian susah dilakukan.

“ Permasalahan besar lain merupakan ketidakpercayaan terhadap petugas layanan kesehatan yang menimbulkan dekat sepertiga dari segala kematian terjalin di tempat masyarakat umum tinggal, bukan di pusat perawatan Ebola,” tulis BBC.

Dalam kondisi semacam itu, pasti susah mempraktikkan protokol kesehatan buat menghindari penularan virus ebola. Suasana Kongo kian runyam sebab penyangkalan terhadap eksistensi wabah ebola. Masih banyak pula orang Kongo yang menyangka wabah ebola cumalah isu yang terencana disebar orang kaukasian bagaikan dalih eksploitasi. Perihal ini terpaut dengan sejarah kolonialisme Eropa yang sempat mencengkeram daerah itu.

Fenomena itu persis seperti sebagian warga Indonesia yang yakin kalau COVID- 19 merupakan konspirasi. Terdapat pula golongan antivaksin yang menggaungkan teori- teori irasional, mulai dari vaksin berisi chips, komposisi vaksin yang bermasalah serta malah beresiko, sampai menyangkut halal- haram zat penyusunnya. Salah satu tokoh antivaksin yang akhir- akhir ini tersorot merupakan anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning.

Bagi Sulfikar, membenahi penerimaan serta keyakinan publik dikala ini bukan masalah mudah. Terlebih, kegagalan pemerintah dalam menanggulangi pandemi sepanjang 10 bulan ini sudah lebih dahulu membuat keyakinan publik merosot. Belum lagi bicara informasi pandemi yang tidak sempat dibuka transparan.

Skenario imunitas komunal—minimal 70 persen warga wajib divaksin—dikhawatirkan tidak bakal tercapai bila pemahaman antivaksin semacam itu kian tumbuh. Program vaksinasi wajib dikelola serta dikawal dengan baik supaya Indonesia tidak bernasib seperti Kongo.

“ Permasalahan penerimaan publik ini berat sekali. Cuma terdapat satu metode untuk membuat warga menerima vaksin, ialah berikan kabar transparan,” kata Sulfikar.


Infografik Apabila Vaksin Kandas.

Memahami Efikasi yang Berbeda

“ Terus aku tanya, ini katanya yang ingin digratiskan seluruh rakyat ini yang mana, wong terdapat 5 macam. Tentu yang murah jika orang miskin,” kata Ribka dalam rapat kerja bersama Menteri Kesehatan( Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Selasa( 13/ 1/ 2021).

Ia nampak kritis, seakan menyuarakan ketimpangan distribusi vaksin COVID- 19 buat warga. Pikirnya, dengan menyoroti perbandingan harga serta tingkatan efikasi, kelompok miskin tentu menemukan vaksin dengan mutu kurang baik. Sementara itu, vaksin free bukannya tidak bermutu sebab tingkatan efikasinya senantiasa setara dengan vaksin impor“ berbayar” lain.

Sepanjang ini Pemerintah Indonesia mengimpor 5 vaksin, di antara lain 3 juta dosis plus 122, 5 juta dosis Sinovac; 50 juta dosis Novavax; 50 juta dosis AstraZeneca; 50 juta dosis Pfizer/ BioNTech. Sedangkan vaksin COVID- 19 gratis didapat dari bantuan Global Alliance for Vaccine and Immunization( GAVI) sebanyak 54 juta dosis—dengan opsi vaksin Pfizer, AstraZeneca, ataupun Moderna.

Vaksin Pfizer saat ini tercatat memiliki tingkatan efikasi 95 persen, paling tinggi di antara vaksin lain. Kemudian, tingkatan efikasi vaksin AstraZeneca menggapai sekitar 62 sampai 90 persen.

Vaksin Moderna pula memberi tahu efikasi sebesar 94 persen. Sedangkan itu, vaksin Novavax sampai saat ini belum mempunyai laporan hasil uji efikasi. Setelah itu, vaksin Sinovac yang telah disuntikkan ke Presiden Joko Widodo memiliki kemanjuran 65, 3 persen berdasar uji klinis di Bandung.

Jadi, opini simpatik dari Ribka pada dasarnya tidak pas. Terlebih World Health Organization menetapkan, Emergency Use Authorization( EUA) ataupun otorisasi buat pemakaian darurat bisa diberikan kepada vaksin dengan tingkatan efikasi 50 persen.

Tingkatan efikasi ataupun kemanjuran menunjukkan, vaksin bisa merendahkan efek peradangan sebesar angka tersebut, dibandingkan tanpa vaksin. Derajat efikasi dipengaruhi ciri subjek uji. Bila subyek uji ialah kelompok resiko tinggi, perhitungan efikasi bakal bertambah.

“ Kebalikannya, kala subjek ujinya berisiko rendah, terlebih taat dengan prokes, tidak sempat keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, hingga bakal menghasilkan angka efikasi yang lebih rendah,” jelas Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, dalam paparan yang diterima Tirto.

Vaksin Sinovac di Brazil sempat mencatat kemanjuran sebesar 78 persen melawan permasalahan COVID- 19 ringan sampai berat. Subjek ujinya merupakan kelompok berisiko tinggi, ialah tenaga kesehatan. Perhitungan angka ini tidak termasuk informasi kelompok infeksi sangat ringan. Kala informasi kelompok itu disertakan, efikasinya turun jadi 50, 34 persen.

“ Uji klinis Sinovac di Indonesia memakai populasi masyarakat umum sehingga risikonya lebih kecil,” cerah Zullies.

Lalu, seberapa ampuh vaksin mencegah virus COVID- 19 yang terdapat disaat ini?

Zullies mencontohkan dengan tingkatan efikasi Sinovac di Indonesia, ialah 65, 3 persen. Misalnya, akan terdapat 8, 6 juta orang terinfeksi virus korona dari total populasi 100 juta tanpa vaksinasi. Angka peradangan itu hendak turun 65 persen jadi cuma kurang lebih 3 juta penduduk bila dilakukan vaksinasi.

Ada 5, 6 juta orang terbebas dari peradangan berkat vaksinasi. Penyusutan angka infeksi itu jelas bakal sangat berakibat pada daya guna penindakan pandemi. Dia menghindari kolapsnya sarana kesehatan serta menghindari penularan untuk kelompok yang tidak dapat memperoleh vaksin.

Jadi, jangan sampai program vaksinasi COVID- 19 di Indonesia kandas cuma sebab satu orang yang ribut cari simpati warga dengan menyebar hoaks. Tidak perlu khawatir ikut vaksinasi serta senantiasa berdisiplin mempraktikkan protokol kesehatan. 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Write a comment

Ada 1 Komentar untuk Berita Ini

+ Indexs Berita

Berita Terbaru

Berita Utama

Berita Populer

Berita Pilihan

View all comments

Write a comment