
Keterangan Gambar : Gedung Mahkamah Agung. Foto: Ari Saputra
Kabarbawah.com - Mahkamah Agung (MA) melarang
siapa pun mendokumentasikan persidangan tanpa izin hakim/ketua majelis hakim.
Aturan yang tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 itu dinilai
bertentangan dengan UU 12/2011.
"Perlu digarisbawahi bahwa Ruang Lingkup dari Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) hanya sebatas pada penyelenggaraan peradilan yang berkaitan
dengan hukum acara," kata peneliti Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi
(Puskapsi) Universitas Jember Fahmi Ramadhan Firdaus saat berbincang dengan
detikcom, Selasa (22/12/2020).
Menurut Fahmi, pembentukan Perma adalah kewenangan atribusi yang
dimiliki MA untuk mengisi kekosongan hukum atau hal-hal terkait teknis
penyelenggaraan peradilan yang belum diatur dalam Undang-Undang. Ketentuan iini
dapat kita lihat pada Pasal 79 (Beserta Penjelasan) UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004. Yaitu MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-Undang ini.
"Peraturan Mahkamah Agung (Perma) termasuk sebagai salah satu
Jenis Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU P3)," cetus Fahmi.
"Oleh karena termasuk dalam Jenis Peraturan Peraturan
Perundang-undangan, meskipun tidak masuk dalam hierarki, proses Pembentukan
Perma harus tunduk terhadap syarat dan ketentuan UU P3," sambung Fahmi.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011
adalah partisipasi publik. Hal ini adalah konsekuensi dari Asas Pembentukan
Peraturan-Perundang-undangan yang baik yakni Asas Keterbukaan yang artinya
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka.
"Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,"
beber Fahmi.
Menurut Fahmi, sebelum Perma diundangkan, draft Rancangan Perma wajib
untuk dibuka kepada publik agar diperoleh masukan dengan berbagai cara baik itu
sosialisasi ataupun uji publik. Masukan dapat disampaikan dalam bentuk lisan ataupun
tertulis. Masukan publik dalam pembentukan Perma sangat diperlukan mengingat
Perma salah satu instrumen hukum untuk menyelenggarakan teknis peradilan yang
muaranya untuk menegakan keadilan di tengah masyarakat.
"Kalau kita lihat penolakan atau pun kritik terhadap Perma Nomor 5
Tahun 2020, hal tersebut adalah konsekuensi dari tidak dilibatkannya publik
dalam proses pembentukannya," pungkas pengajar FH Universitas Jember itu.
Sebelumnya diberitakan, MA menyebut aturan tersebut tidak membatasi
transparansi. "Sama sekali bukan membuat aturan yang membatasi
transparansi," ujar kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi
Minggu (20/12/2020).
Andi mengatakan, aturan ini agar seluruh pihak dapat merasa aman saat
di persidangan. Menurutnya, larangan ini akan mewujudkan peradilan yang
berwibawa.
"Jadi filosofinya pada faktor keamanan, semua pihak merasa aman
berada di ruang sidang atau pengadilan dan persidangan yang lancar, tertib dan
aman, akan mewujudkan peradilan yang berwibawa," kata Andi.