Aturan Larangan Foto-Video Sidang Dinilai Bertentangan dengan UU 12/2011

By Chelba Polanda 22 Des 2020, 13:06:06 WIB Hukum
Aturan Larangan Foto-Video Sidang Dinilai Bertentangan dengan UU 12/2011

Keterangan Gambar : Gedung Mahkamah Agung. Foto: Ari Saputra


Kabarbawah.com - Mahkamah Agung (MA) melarang siapa pun mendokumentasikan persidangan tanpa izin hakim/ketua majelis hakim. Aturan yang tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 itu dinilai bertentangan dengan UU 12/2011.

"Perlu digarisbawahi bahwa Ruang Lingkup dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) hanya sebatas pada penyelenggaraan peradilan yang berkaitan dengan hukum acara," kata peneliti Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Fahmi Ramadhan Firdaus saat berbincang dengan detikcom, Selasa (22/12/2020).

Menurut Fahmi, pembentukan Perma adalah kewenangan atribusi yang dimiliki MA untuk mengisi kekosongan hukum atau hal-hal terkait teknis penyelenggaraan peradilan yang belum diatur dalam Undang-Undang. Ketentuan iini dapat kita lihat pada Pasal 79 (Beserta Penjelasan) UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Yaitu MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini.

"Peraturan Mahkamah Agung (Perma) termasuk sebagai salah satu Jenis Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)," cetus Fahmi.

"Oleh karena termasuk dalam Jenis Peraturan Peraturan Perundang-undangan, meskipun tidak masuk dalam hierarki, proses Pembentukan Perma harus tunduk terhadap syarat dan ketentuan UU P3," sambung Fahmi.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah partisipasi publik. Hal ini adalah konsekuensi dari Asas Pembentukan Peraturan-Perundang-undangan yang baik yakni Asas Keterbukaan yang artinya dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

"Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," beber Fahmi.

Menurut Fahmi, sebelum Perma diundangkan, draft Rancangan Perma wajib untuk dibuka kepada publik agar diperoleh masukan dengan berbagai cara baik itu sosialisasi ataupun uji publik. Masukan dapat disampaikan dalam bentuk lisan ataupun tertulis. Masukan publik dalam pembentukan Perma sangat diperlukan mengingat Perma salah satu instrumen hukum untuk menyelenggarakan teknis peradilan yang muaranya untuk menegakan keadilan di tengah masyarakat.

"Kalau kita lihat penolakan atau pun kritik terhadap Perma Nomor 5 Tahun 2020, hal tersebut adalah konsekuensi dari tidak dilibatkannya publik dalam proses pembentukannya," pungkas pengajar FH Universitas Jember itu.

Sebelumnya diberitakan, MA menyebut aturan tersebut tidak membatasi transparansi. "Sama sekali bukan membuat aturan yang membatasi transparansi," ujar kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi Minggu (20/12/2020).

Andi mengatakan, aturan ini agar seluruh pihak dapat merasa aman saat di persidangan. Menurutnya, larangan ini akan mewujudkan peradilan yang berwibawa.

"Jadi filosofinya pada faktor keamanan, semua pihak merasa aman berada di ruang sidang atau pengadilan dan persidangan yang lancar, tertib dan aman, akan mewujudkan peradilan yang berwibawa," kata Andi.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

+ Indexs Berita

Berita Terbaru

Berita Utama

Berita Populer

Berita Pilihan

View all comments

Write a comment