
Keterangan Gambar : Aktris Emilia Clarke berpose untuk fotografer setibanya di pemutaran perdana film
Emilia Clarke mengaku tak nyaman ketika harus
memerankan beberapa adegan telanjang di dalam serial Game of Thrones.
Aktris yang memerankan Ratu Daenerys Targaryen itu bercerita ia sempat menangis
sebelum adegan dimulai.
Dalam Armchair Expert Podcast,
Clarke menyatakan awalnya menolak melakukan adegan itu, namun para pembuat
serial drama tersebut berkilah Clarke akan mengecewakan penonton karena mereka menyukai ketelanjangan.
Tak peduli apakah sang aktris menyukai dan merasa nyaman dengan adegan itu atau
tidak, yang diprioritaskan di sini adalah kepuasan penonton dan pembuat film.
Padahal, tak semua adegan telanjang yang dilakukan oleh sang aktris masuk ke
dalam alur cerita.
Ketelanjangan dalam film memang menjual. Tapi,
kenapa harus perempuan yang lebih sering telanjang?
Ini problem klasik. Buku saku Roger Ebert
berjudul The Little Book of Hollywood Clichés (1995)
mendokumentasikan adegan-adegan klise dan tak perlu dalam film-film Amerika.
Salah satu entri yang paling menonjol berhubungan dengan representasi perempuan
di layar lebar. ketika karakter laki-laki menggunakan pakaian atau sepatu hasil
rampasan dalam film laga, catat Ebert, pakaian atau sepatu itu akan selalu
sangat pas dengan ukuran tubuh karakter laki-laki—terlepas ukuran tubuh pemilik
sebelumnya. Sedangkan ketika karakter perempuan yang merampas pakaian, maka
pakaian tersebut akan selalu kebesaran (jika pemilik sebelumnya laki-laki) atau
terlalu minim dan terbuka (jika pemilik sebelumnya adalah perempuan).
Buku yang sama juga mencatat perempuan akan
selalu membuka pakaian dari atas ke bawah. Bahkan, Harry Cohn, direktur
produksi dari Columbia Pictures Corporation (1920-1958) pernah berkomentar soal
bintang renang bernama Esther Williams. “Jika dia tidak mau melepas pakaiannya,
bisakah kita membuatnya basah?” ucap Cohn. “Ketika kering dia bukan siapa-apa,
namun ketika basah dia jadi seorang bintang!” tambah Cohn. Adegan perempuan
yang sedang mandi juga menjadi adegan yang sering muncul dalam film.
Laporan riset Geena Davis Institute berjudul
“Rewrite her Story” (2019, PDF) menyuguhkan kesimpulan yang menarik. Lembaga yang didirikan aktris
Geenar Davis itu menyatakan bahwa film-film Hollywood "tidak banyak
berubah selama beberapa dekade". Laki-laki tetap mendominasi alur cerita,
sementara perempuan yang memiliki peran sebagai pemimpin, kerap digambarkan
sebagai perempuan yang cerdas dan disukai, namun di sisi lain "dijadikan
objek seksual". Maksudnya, bagian tubuh perempuan diperlakukan bagaikan
objek yang dapat dinikmati melalui pandangan atau bahkan sentuhan demi
kesenangan dan memenuhi hasrat seksual. Karakter-karakter perempuan pada
umumnya diobjektifikasi oleh kamera dan dalam dialog karakter lain, serta lebih
sering ditampilkan mengalami pelecehan seksual dibandingkan dengan laki-laki.
Riset yang sama juga menyebutkan pemimpin perempuan "ditampilkan sebagai
sesuatu yang langka”. Bahkan, etika ditampilkan sebagai pemimpin, perempuan
juga lebih sering muncul telanjang atau mengenakan pakaian terbuka.
Dengan kata lain: fisik menjadi aspek yang
diutamakan dari penampilan perempuan dalam film. Studi lain lebih dalam
membahas ketelanjangan ini. Bertajuk “Inequality in 1.100
Popular Films: Examining Portrayals of Gender, Race/Ethnicity, LGBT &
Disability From 2007 to 2017”
(2018, PDF), Stacey L. Smith dkk. menganalisis 1.100 film populer. Studi ini
menemukan 25,4% perempuan beradegan telanjang di dalam film. Angka ini timpang
jika dibandingkan dengan 9,6% laki-laki yang beradegan serupa. Kemudian, 28,4%
perempuan tampil dengan pakaian seksi dibanding dengan 7,5% laki-laki, dan 11%
perempuan ditampilkan sebagai sosok yang lebih menarik berbanding dengan 3,9%
laki-laki.
Martha Lauzen, direktur eksekutif Pusat Studi
Perempuan dalam Televisi dan Film di San Diego State University menyatakan
mayoritas sutradara dan penulis film adalah laki-laki. Laki-laki menempati 87%
posisi sutradara dan 81% penulis untuk 250 judul film domestik terlaris tahun
2019. Menurut Lauzen, inilah yang menyebabkan bias gender terus langgeng di
dunia sinema (PDF).
Kembali merujuk riset Geena Davis
Institute, dalam 56 film terlaris tahun 2018 dari 20
negara, karakter pemimpin perempuan empat kali lebih mungkin ditampilkan tanpa
busana dibandingkan laki-laki. Peneliti menyebut, film terlaris dari 20 negara
terkait cenderung Amerika-sentris—mayoritasnya merupakan produksi Amerika
Serikat. Dari 56 film terlaris itu, tak satu pun yang disutradarai perempuan,
setidaknya hanya 1 dari 4 film yang diproduseri oleh perempuan, dan hanya 1
dari 10 film yang mempekerjakan perempuan dalam tim penulisan skenario.
Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan tampil
telanjang di dalam film apalagi jika adegan tersebut diikuti dengan diskusi
mengenai seksualitas perempuan dan seksisme. Film-film non-Amerika pun tak
jarang menampilkan perempuan telanjang, dengan catatan pemerannya telanjang
selama seks menjadi bagian integral dalam cerita, bukan sebagai adegan yang
diada-adakan seperti yang terjadi di film-film Amerika. Tampil telanjang juga
menjadi bermasalah jika dilakukan tanpa persetujuan dari pihak yang tampil atau
ketika aktris tidak memiliki suara atas penampilan tubuhnya sendiri di dalam
film. Dengan kata lain, ketika sang aktris berperan dalam adegan tersebut di
bawah tekanan.
Jennifer Lawrence, Scarlett Johansson, dan Kate
Winslet pernah bersuara mengenai keinginannya untuk tampil telanjang di dalam
film mereka. Dalam wawancara yang dilakukan dengan 60 Minutes,
Lawrence menyebut adegan tanpa busana yang ia lakoni dalam film Red Sparrow membuatnya
merasa “diberdayakan”.
Pernyataan itu mengacu pada kasus tersebarnya foto telanjang Lawrence secara
illegal di internet. Jika ia merasa nyaman dengan melakukan adegan telanjang
dalam film, maka ia bisa “memiliki tubuhnya” lagi dan kembali memiliki sesuatu
yang pernah dicuri dari dirinya. Sedangkan bagi Kate Winslet,
akting telanjangnya di dalam film bertujuan untuk menunjukkan kepada para
audiens, terutama perempuan, bahwa perempuan harus merasa percaya diri atas tubuhnya
dan ketidaksempurnaannya.
Jika perempuan merasa diberdayakan oleh akting
tanpa busana, mengapa tidak ada perubahan statistik yang signifikan dalam
beberapa dekade terakhir? Jawabannya tidak jauh-jauh dari studio-studio besar
yang didominasi oleh laki-laki sebagai pengambil keputusan. Mereka memelihara
keyakinan misoginis bahwa “tubuh perempuan” harus hadir di dalam layar. Tidak
bisa dipungkiri memang, seks merupakan komoditas yang senantiasa laris di pasaran. Dominasi laki-laki di posisi eksekutif ini beberapa tahun terakhir
mulai didugat sejak kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang
melibatkan produser Harvey Weinstein sebagai pelaku mulai terkuak.

Namun, di balik sebagian aktris yang merasa
diberdayakan melalui ketelanjangan, ada aktris lain yang tidak berdaya
menghadapi ketelanjangan. Margot Robbie, aktris yang pernah tampil telanjang
dalam film The Wolf of Wall Street, misalnya, mengaku
telah berbohong kepada keluarganya dan berusaha untuk tidak pulang ke kampung
halamannya. “Aktris di setiap level dalam industri film seringkali ditekan
untuk tampil telanjang atau setengah telanjang, terutama di awal karir, ketika
mereka memiliki pengaruh yang sangat terbatas di lokasi syuting….” ungkap
The Washington Post.
Aktris juga tampil tanpa busana di dalam layar
sebagai simbol perubahan personanya. Mereka melakukan itu untuk membuktikan
kepada khalayak bahwa dirinya serius dalam meniti karir. Dalam hal ini khalayak
diberi kesempatan untuk menilai apakah aktris yang bersangkutan mampu menjadi
aktris serius dengan menunjukkan perubahan personanya itu.
Walhasil ketelanjangan di dalam layar kemudian
dianggap relevan atau berbanding lurus dengan kemampuan akting sang aktris.
Namun demikian, tidak jarang keputusan atau paksaan untuk tampil telanjang juga
justru berbalik menghancurkan karir sang aktris. Dalam hal ini, perempuan harus
rela untuk mengekspos tubuhnya sendiri demi mendapatkan legitimasi.